RESUME
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidaya-Nya sehingga penyusunan tugas resume ini dapat diselesaikan. Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Psikologi Konseling dari buku judul “Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik” di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI).
Saya ucapkan terima kasih kepada Ibu dosen, selaku dosen mata kuliah Psikologi Konseling yang telah membimbing saya. Demikianlah tugas resume ini dari buku “Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik” Pengarang oleh Dr. Namora Lumongga Lubis, M. Sc. disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah. Apabila dalam pembuatan resume ini ada kekurangan saya minta maaf dan kepada Allah kami mohon ampun.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Palembang, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
I. HALAMAN DEPAN......................................................................................
II. DAFTAR ISI...................................................................................................
III. PEMBAHASAN..............................................................................................
1. Pengantar Konseling..................................................................................................
2. Unsur-Unsur Konseling Dan Tujuannya....................................................................
3. Menciptakan Konseling Yang Kondusif....................................................................
4. Langkah-Langkah Konseling.....................................................................................
5. Teknik-Teknik Konseling...........................................................................................
6. Assessment Dalam Konseling....................................................................................
7. Sasaran Dan Strategi Dalam Konseling.....................................................................
8. Terminasi Dalam Konseling......................................................................................
9. Berbagai Pendekatan Dalam Konseling....................................................................
10. Konseling Kelompok.................................................................................................
11. Konseling Keluarga....................................................................................................
12. Masalah Etis Dalam Konseling .................................................................................
13. Ilustrasi Kasus Dalam Konseling...............................................................................
PENUTUP.................................................................................................................
Kesimpulan...............................................................................................................
BAB 1
PENGANTAR KONSELING
A. PENGETIAN KONSELING
Perkembangan zaman yang pesat dan terus-menerus menawarkan perubahan, telah menuntut individu secara sadar atau tidak untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ditinjaudari akar sejarahnya sendiri, konseling memiliki banyak pengertian dan rumusan yang berbeda pada setiap teori para tokohnya. Shertzer dan Stone, mengungkapkan bahwa kebutuhan akan adanya konseling pada dasarnya timbul dari dalam dan luar diri individu yang memunculkan pertanyaan mengenai “apa yang seharusnya dilakukan individu ?”.
Dalam definisi yang luas, Rogers, mengartikan konseling sebagai hubungan membantu dimana salah satu pihak (konselor) bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental pihak lain (klien), agar dapat menghadapi persoalan/konflik yang dihadapi dengan lebih baik. Rogers mengartikan, “bantuan” dalam konseling adalah dengan menyediakan kondisi, sarana, dan keterampilan yang membuat klien dapat membantu dirinya sendiri dalam memenuhi rasa aman, cinta, harga diri, membuat keputusan, dan akualitasi diri.
Dengan demikian istilah konselor untuk orang yang menyediakan bantuan dan istilah klien berlaku untuk orang yang menjalani proses menerima bantuan.
B. ASAL MULA PERKEMBANGAN KONSELING
Latar belakang konseling, dimulai sejak tahun 1986 yang dipelopori oleh Lightner Witmer dengan mendirikan sebuah klinik Psychological Counseling Clinic di University of Pennsylvania. Kemudian disusul oleh Jesse B. Davis, yang merupakan orang pertama yang memulai kegiatan sebagai pendidik dan konselor karier di Central High School, Detriot.
Di era tahun 1930-an, E. G. Williamson menyumbangkan teori konseling untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, ia menggunakan pendekatan yang bersifat directive, counselor-centered. Pendekatan inilah yang lebih banyak digunakan dalam dunia konseling selama kurang lebih dua dekade berikutnya. Pada tahun 1940-an, terjadi beberapa perubahan dalam praktik konseling. Dilatar belakangi oleh teori dari Carl Rogers. Rogers menggunakan pendekatan Person-Centered dalam praktiknya. Pemikiran Rogers tersebut, menekankan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh individu itu sendiri dihadapi oleh individu hanya dapat diselesaikan apabila individu itu sendiri yang paling banyak mengambil peran dalam menyelesaikan masalahnya.
Perkembangan dunia konseling semakin menunjukkan eksistensinya, ketika tahun 1952 American Psychological Association (APA) membedakannya dari psikologis klinik. Konseling dinilai berbeda dalam metodenya, memberikan tindak lanjut terhadap permasalahan yang dihadapi oleh individu. Untuk menyempurnakan asal mula perkembangan konseling, berikut ini adalah sebagaimana yang telah disusun oleh Petrofesa :
· 18896 Lightner Witmer mendirikan klinik konseling psikologis di Universitas Pennsylvania.
· 1898 Jesse B. Davis mulai menjadi pendidik dan konselor karier pada Central High School di Detroit.
· 1905 Albert Binet dan Theophile Simon mengupayakan tes Intelegensi umum baku di Paris.
· Frank Parsons menggiatkan usaha bimbingan jabatan pada Vocational Bureau of Boston dan melalui tulisannya yang berjudul Choosing a Vocation.
· 1909 Cifford Beers menulis A Mind That Found Itself dan membantu pendirian National Comission for Mental Hygiene.
· 1913 Didirikan National Vocational Guidance Association di Grand Rapid, Michigan.
· 1917 Army Alpha (tes kemampuan mental verbal untuk kelompok) dan Army Beta (tes kemampuan mental nonverbal) dikembangkan untuk digunakan dalam testing dan prosedur skrining pada Perang Dunia I.
· 1927 Strong Vocational Interest Blank diterbitkan pertama kali, hal ini menunjukkan kemajuan pertumbuhan dan perkembangan pengukuran minat.
· 1929 George-Reed Act disahkan oleh Congress yang meningkatkan bantuan federal, pemerintah pusat Amerika Serikat, bagi pendidikan jabatan.
· 1934 George-Ellzy Act yang mendukung program-program pendidikan jabatan, disahkan oleh Congress.
· 1935 Sebagai reaksi dari depresi (ekonomi) dan pengangguran besar-besaran, didirikanWork Progress Administration. Konseling dan penempatan merupakan layanan yang dibuka, ditawarkan bagi pemuda-pemudi.
· 1936 George Deen Act melanjutkan, menyambung dukungan federal bagi pendidikan jabatan.
· 1937 Didirikan American Association for Applied Psychology.
· 1938 Pada US Office of Education, Departemen Pendidikan AS, dibuka Occupational Information and Guidance Service.
· 1939 E. G. Williamson memplubikasikan How to Counsel Students.
· 1941 Army General Classification Tes dikembangkan.
· 1942 Carl Rogers mempublikasikan Counseling and Psychotherapy.
· 1945 General Aptitude Test Battery dikembangkan oleh US Employment Office, Departemen Tenaga Kerja AS.
· 1951 Didirikan American Personal and Guidance Association.
· 1952 Dibentuk American School Counselor Association.
· 1953 American Psychological Association mengganti Counseling and Guidance menjadi Diffision 17-Counseling Psychology.
Awal mula pelaksanaan konseling di negara Barat hanya difokuskan pada nilai-nilai yang terdapat pada kelompok kulit putih, yang pada saat itu menjadi kaum mayoritas sehingga kegiatan konseling lebih banyak dikhususkan bagi kaum mayoritas tersebut. Kemudian munculnya kaum minoritas yang terdiri dari kaum pendatang; siswa, mahasiswa, imigran dengan membawa nilai-nilai budaya mereka sendiri tentu saja menimbulkan permasalahan, karena kesulitan menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang baru. Maka untuk itu, secara keseluruhan konseling terus melakukan penelitian-penelitian untuk menangani kasus kaum minoritas.
C. PENERAPAN KONSELING DI INDONESIA
Menurut Sawitri, mengungkapkan bahwa memasuki awal 1950-an, Universitas Indonesia (UI) untuk pertama kalinya mengembangkan psikologi yang dirintis oleh Prof. Dr. Slamet Imam Santoso. Kemudian pada tahun 1960, konseling diperkenalkan di Indonesia melalui lembaga pendidikan sekolah menengah. Hal ini dilakukan dalam upaya pengembangan proses bimbingan bagi siswa. Perkembangan konseling selanjutnya mengarah ke pusat rehabilitas sosial, lembaga sosial, dan industri.
Eksistensi konseling di Indonesia yaitu saat dilakukannya kongres dan Konvensi Nasional IPBI (yang sekarang berubah nama menjadi ABKIN) pada tahun 1995, yang bertemakan Menemukan Konseling yang Bercirikan Budaya Indonesia. ABKIN yang saat ini dijadikan tonggak bersejarah bagi pelaksanaan konseling di Indonesia, diharapkan mampu mengembangkan suatu pendekatan konseling yang berbasis Indonesia. Alternatif yang ditawarkan adalah Teknik Konseling PADI (Problem definition, Attempted solution, Desired change, Intervention plan). ABKIN telah berhasil memperjuangkan pentingnya keberadaan konselor di sekolah sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Peda Bab I Pasal 1 Ayat 4.
Dengan demikian, konseling diharapkan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga diterima secara positif sebagai media mengatasi permasalahan kehidupan.
D. KONSELING DAN PSIKOTERAPI
Secara umum, konseling dan psikoterapi adalah dua bentuk penanganan yang hampir sama persis dan sulit dibedakan. Menurut Rogers mengatakan bahwa istilah konseling lebih umum digunakan dibidang pendidikan, sementara istilah psikoterapi lebih kepada pekerja-pekerja sosial, psikolog, dan psikiater. Menurut Patterson mengatakan, bahwa membedakan konseling dan psikoterapi tidaklah esensial. Menurutnya, hubungan, tujuan, metode, maupun tipe klien antara konseling dan psikoterapi tidak memiliki perbedaan secara prinsip.
Berbeda pandangan dengan teori yang telah dikemukakan sebelumnya oleh para ahli, yang sulit membedakan antara konseling dan psikoterapi, Blacher, merumuskan lima asumsi dasar untuk membedakan konseling dan psikoterapi sebagai istilah yang terpisah. Berikut adalah asumsinya :
1. Dalam konseling, klien bukanlah orang yang menderita sakit mental, melainkan masih dapat memilih tujuan, membuat keputusan dan bertanggung jawab pada tingkah lakunya di kemudian hari.
2. Fokus konseling adalah saat ini dan masa depan, bukan pengalaman masa lalu.
3. Klien adalah klien, bukan pasien. Sementara konselor bukanlah figur yang memiliki otoritas, akan tetapi merupakan sahabat klien yang bersama-sama mendefinisikan tujuan.
4. Konselor memiliki nilai, perasaan, dan standar untuk dirinya dan tidak mencoba menyembunyikannya kepada klien.
5. Fokus konselor adalah perubahan tingkah laku, bukan hanya membuat klien menjadi sadar.
Mappiare, mengelompokkan persamaan dan perbedaan antara konseling dan psikoterapi sebagai berikut :
1. Persamaan
Tujuan konseling dan psikoterapi adalah sama, yaitu eksplorasi diri, pemahaman diri, dan perubahan tingkah laku. Selain itu, keduanya juga sama-sama menekankan pentingnya menjadikan klien dapat mengambil keputusan dan terampil membuat perencanaan. Keakraban hubungan antara klien dan konselor ataupun psikoterapi disepakati sebagai bagian integral dalam proses keduanya.
2. Perbedaan
a. Pengertian : istilah psikoterapi bermakna ganda. Disatu sisi ia berperan sebagai sebuah bentuk terapi psikologis, tetapi di sisi lain ia berperan sebagai sekelompok terapi psikologis.
b. Fokus pnyelesaian masalah : Konseling berfokus pada; perkembangan, pendidikan, pencegahan; sementara psikoterapi berfokus pada; penyembuhan, penyesuaian, pengobatan.
c. Dasar pelaksanaan : konseling dilaksanakan atas dasar pandangan terhadap manusia (teori digunakan sebagai sumber keterangan yang dapat membantu memudahkan memahami individu), sementara psikoterapi dilaksanakan atas dasar ilmu teori kepribadian dan psikopatologi.
d. Tujuan dan cara : tujuan psikoterapi; mengatasi masalah kelemahan individu dengan beberapa cara praktis, seperti pembedahan psikis (psycho-surgery) dan pembedahan otak. Sementara tujuan konseling; mengembangkan kekuatan-kekuatan positif individu, sehingga klien dapat berfungsi secara sempurna.
Dengan demikian, walaupun konseling dan psikoterapi adalah dua hal yang memiliki kesamaan, tetapi perbedaan di antara keduanya cukuplah menjadi sandaran, agar semakin tajam mengenal dan menggunakan salah satu diantaranya dalam membahas atau menangani kasus dengan tepat.
E. ADAPTASI KONSELING DENGAN RANAH KEILMUAN LAIN
Konseling adalah cabang keilmuan yang berdiri sendiri sejak mendapat pengukuhan dari American Psychological Association (APA) pada tahun 1952. Berikut adaptasi konseling dengan ilmu lain.
1. Ilmu Pendidikan
Secara umum Wilis, menjelaskan tujuan konseling dalam hubungan membantu dalam dunia pendidikan, adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan potensi individu secara optimal sehingga siswa menjadi kreatif, produktif, mandiri, dan bersifat religius.
b. Memecahkan masalah yang dihadapi individu sehingga siswa terlepas dari tekanan emosional (stress), kemudian muncullah ide cemerlang untuk merencanakan hidupnya secara wajar.
2. Ilmu Kesehatan
Berbicara mengenai kesehatan, kita akan melihat adanya interaksi antara dokter dan pasien, atau perawat dan pasien. Willis mengatakan, bahwa cara komunikasi yang baik ialah bukan hanya dialog searah berupa intruksi dokter, akan tetapi yang lebih utama adalah dialog dua arah, sehingga membuat pasien menyatakan semua keinginan, keluhan, dan kecemasan. Maka untuk itu konsep konseling yang memanusiakan manusia inilah yang harus dijiwai para tenaga medis. Dokter/perawat yang memperlakukan pasien denga jiwa konseling akan meambah kepercayaan mereka terhadap penanganan yang dilakukan.
3. Ilmu Agama
Konseling agama (religion ounseling) merupakan sebuah langkah nyata yang dilakukan untuk membantu klien yang mengalami permasalahan seputar keagamanya. Tapi, bukan berarti konseling agama berupaya menarik klien untuk mengikuti suatu ajaran agama tertentu. Dengan mempelajari dan menerapkan teknik konseling, kemudian memadukannya dengan nilai-nilai agama, maka klien akan merasa bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk menjadi pribadi yang dapat diterima oleh Tuhan dan masyerakat. Penerima yang hangat oleh konselor adalah pintu gerbang utama penerimaan klien terhadap dirinya sendiri.
4. Bidang Industri
Bidang industri saat ini juga membutuhkan peranan tenaga kerja profesional konselor untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan dan mengatasi permasalahan yang muncul dalam interaksi pimpinan-karyawan atau karyawan-karyawan. Willis mengatakan komunikasi konseling yang dikembangkan di perusahaan adalah menggunakan teknik-teknik untuk lebih menggali keinginan karyawan, tekanan perasaan, dan motif. Karyawan yang kontinu mendapatkan pemahaman yang positif dari konselor akan lebih efektif bekerja dan loyal terhadap perusahaan.
5. Ilmu Lain
Ilmu lain disini ialah adaptasi konseling dengan permasalahan kehidupan yang terlepas dari cabang keilmuan. Misalnya, konseling perkawinan dan keluarga. Adanya konseling sebagai media yang membantu mengatasi permasalahan di segala aspek kehidupan, akan memberikan pemahaman yang menyeluruh tarhadap masalah-masalah psikologis yang dihadapi oleh masyarakat (klien).
BAB 2
UNSUR-UNSUR KONSELING DAN TUJUANNYA
A. KONSELOR
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya.
1. Karakteristik Konselor
a. Congruence
Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan konguen. Pengertiannya disini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi.
b. Unconditional Positive Regard
Rogers mengatakan bahwa setia manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya kearah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus memberikan kepercayaan kepada klien untuk mengembangkan diri mereka. Situasi konseling harus menciptakan hubungan kasih sayang yang mendatangkan efek konstruktif pada diri klien sehingga klien dapat memiliki kemampuan dalam memberi dan menerima cinta.
c. Empathy
Empathy disini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka berpikirnya. Selain itu empati yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh diikuti terlarut didalam nilai-nilai klien.
1) Keahlian dan Keterampilan
Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan keterampilan wajib dipenuhi oleh konselor yang efektif.
2) Kepribadian Konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses konseling. Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor, Comb A mengungkapkan bahwa kepribadian konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata bagi konselor akan tetapi juga dapat dijadikan sebaai instrumen dalam meningkatkan kemampuan dalam membantu kliennya.Dimensi kepribadian yang harus dimiliki seorang konselor antara lain :
· Spontanitas
· Fleksibilitas
· Konsentrasi
· Keterbukaan
· Stabilitas emosi
· Berkeyakinan akan kemampuan untuk berubah
· Komitmen pada rasa kemanuasiaan
· Kemauan membantu klien mengubah lingkungannya
· Pengetahuan konselor
· Totalitas
· Kesadaran tentang diri dan pemahaman diri sendiri
· Kesehatan psikologis yang baik
· Sensitivitas terhadap pemahaman faktor rasial, etnis, dan budaya dalam diri dan orang lain.
· Keterbukaan
· Objektivitas
· Kompetensidapat dipercaya
· Daya tarik interpersonal
2. Peran dan Fungsi Konselor
Peran konselor antara lain :
· Untuk mencapai sasaran interpersonal dan intrapersonal
· Mengatasi divisit pribadi dan konslutan perkembangan
· Membuat keputusan dan memikirkan rencana tindakan untuk perubahan dan pertumbuhan
· Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
Fungsi konselor antara lain :
· Assesment
· Evaluasi
· Diganosis
· Rujukan wawancara individual
· Wawancara kelompok
3. Masalah Yang Dihadapi Konselor
a. Kobosanan
Kebosanan adalah masalah yang dihadapi oleh konselor yang telah mengahadapi kasus yang sama berulang kali terjadi walaupun berasal dari orang – orang yang ebrbeda. Bahkan konselor dapat memprediksi dengan hampir tepat apa yang akan dikatakan klien pada suatu waktu.
b. Hostilitas
Konselor harus dapat menerima hal ini sebagai bagian dari perannya sebagai pihak yang membantu klien dan dapa menerima keadaan apa adanya.
c. Kesalahan-kesalahan Konselor
Kesalahan dalam melakukan pengukuran atau tidak dapat memahami dengan tepat pendekatan apa yang seharusnya paling tepat dalam menangani klien adalah contoh sederhana dari kesalahan seorang konselor. Untuk masalah ini Canvagh mengatakan bahwa membedakan konselor yang efektif dengan yang tidak efektif bukanlah ada atau tidaknya kesalahan melainkan, melainkan apakah mau mengakui atau tidak kesalahan yang dilakukannya.
d. Manipulasi
Adapun tujuan dari tindakan manipulasi yang dilakukan oleh klien terhadap konselor seperti yang dinyatakan oleh Lesmana antara lain :
· Untuk memenuhi kebutuhan
· Untuk menetralisasi ancaman
e. Penderitaan
Ada beberapa sikap yang kerap dilakukan konselor sehubungan dengan penderitaan ini, antara lain:
· Konselor cenderung melompati penderitaan ini karena tidak ingin kecipratan penderitaan.
· Konselor bersikap keras dengan cool detachment atau tanpa perasaan menghadapi penderitaan.
· Konselor menjadi marah atau sinis pada klien karena memandang klien sedang melakukan manipulasi untuk mendapatkan simpati.
· Konselor justru mendorong timbulnya penderitaan yang tidak perlu.
f. Hubungan Yang Membantu Vs Tidak Membantu
Hubungan yang membantu dalam kategori ini adalah keterlibatan emosional sementara dalam kategori tidak membantu meliputi distansi emosional.
· Distansi emosional
Distansi emosional adalah sikap konselor yang menjaga jarak emosi dengan kliennya. Hal ini menyebabkan konselor tidak dapat menyelami perasaan klien secara menyeluruh, sehingga ia tidak dapat mengembangkan perasaan empati kepada klien.
· Kelekatan emosional
Kelekatan emosional juga termasuk dalam kategori hubungan yang tidak membantu. Berbeda dengan distansi emosional yang menjaga jarak dengan klien, kelekatan emosional justru bertolak belakang dalam praktiknya.
· Keterlibatan emosional
Keterlibatan emosional adalah satu satunya alternatif yang disarankan dalam proses konseling sehingga dikategorikan sebagai hubungan yang membantu. Keterlibatan emosional lebih menekankan pada sikap konselor yang hangat sehingga menciptakan keakraban dan rasa percaya klien, tetapi tidak termasuk klien secara mendalam sehingga menimbulkan kelekatan emosional.
g. Mengakhiri Konseling
Konseling memiliki batas waktu. Lama atau tidaknya konseling tergantung dari konselor dan klien sendiri. Unutk menyikapi munculnya permasalahan ini, konselor harus menyampaikan dengan bijaksana bahwa klien benar- benar telah sembuh dan dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik dari sebelumnya.
h. Resistensi Konselor
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya resistensi konselor, hal ini dinyatakan oleh Willis yang membaginya dalam tiga faktor:
a. Kecemasan, hal ini dapat berasal dari kekacauan pikiran konselor sendiri.
b. Konsleor mengalami frustasi dan konflik.
c. Konselor yang terbiasa memerintah, menasihati, dan mengatur.
Konselor yang efektif seharusnya dapat mencegah berbagai macam kemungkinan buruk yang terjadi baik diawal proses, atau akhir konseling.
B. Klien
Apabila konselor adalah pihak yang membantu dalam proses konseling, maka klien bertindak sebaliknya yaitu sebagai pihak yang dibantu. Dalam hal ini Willis mendefinisikan klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan profesional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya sendiri atau orang lain.
1. Karakteristik Klien
a. Klien Sukarela
Adapun ciri-ciri klien sukarela antara lain :
· Datang atas kemauan sendiri.
· Segera dapat beradaptasi dengan konselor.
· Mudah terbuka, sperti dalam membicarakan persoalannya.
· Bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling.
· Berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas.
· Sikap bersahabat, mengharapkan bantuan.
· Bersedia mengungkap rahasia walaupun menyakitkan
b. Klien Terpaksa
Adapun ciri-ciri klien terpaksa antara lain :
· Klien bersifat tertutup
· Enggan berbicara
· Curiga terhadap konselor
· Kurang bersahabat
· Menolak secara halus bnatuan konselor.
c. Klien Enggan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan mengahadapi klien enggan adalah:
· Menyadarkan kekeliruannya
· Memberi kesempatan agar klien dibimbing oleh konselor atau lawan bicara yang lain.
d. Klien Bermusuhan/Menentang
Klien menentang/bermusuhan adalah kelanjutan dari klien terpaksa yang bermasalah dengan cukup serius. Ciri-cirinya antara lain :
· Ramah, bersahabat, dan empati.
· Toleransi terhadap perilaku klien yang tampak.
· Meningkatkan kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai bahasa tubuh klien.
· Memahami keinginan klien yang tidak mau dibimbing.
· Mengajak negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentang konseling.
e. Klien Krisis
Klien krisis sangat membutuhkan penanganan yang cepat. Ciri-cirinya antara lain :
· Tertutup atau menutup diri dari dunia luar
· Sangat emosional
· Tidak berdaya
· Ada yang mengalami histeria
· Kurang mampu berpikir rasional
· Tidak mampu mengurus diri dari keluarga
· Membutuhkan orang yang dipercaya.
2. Harapan Klien
Dennis P Saccazo menguraikan beberapa harapan klien sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan.
b. Untuk mengetahui lebih jauh model konseling yang sesuai dengan masalahnya.
c. Untuk mengetahui masalah masalah yang dialami sebenarnya.
d. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri.
e. Memahami alasan yang ada dibalik perasaan dan perilakunya.
f. Mendapat dukungan tentang yang harus dilakukan.
g. Memperoleh kepercayaan dalam melakukan tindakan baru yang berbeda dari orang lain.
h. Mengetahui perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan bagaimana seharusnya bertingkah laku.
i. Mendapatkan saran atau nasihat agar memiliki hidup yang bermakna dan berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
j. Agar orang lain menanggapi sebagaimana sebagaimana layaknya.
k. Agar dapat melakukan kontrol diri yang lebih baik.
l. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan dirasakan.
m. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus
3. Kebutuhan Klien
Seorang klien dalam menangani kliennya haruslah menempatkan kebutuhan klien diatas kebutuhannya sendiri. Sebagai pihak yang dibantu, klien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanannya yang baik dari konselor. Seorang konselor yang masih menempatkan kebutuhannya sendiri diatas kepentingan klien akan menimbulkan efek negatif yang seharusnya tidak perlu terjadi. Klien yang kebutuhannya tidak terpenuhi dalam proses konseling biasanya akan meninggalkan proses konseling sebelum terminasi.
4. Resistensi Klien
Menurut Gladding klien yang resistensi adalah klien yang tidak mau atau menolak perubahan. Resistensi ini tejadi karena klien tidak bersedia untuk melalui rasa sakit yang dituntut konselor agar terjadi perubahan. Ketika klien melakukan resistensi ia akan bersifat tertutup pada konselornya, padahal apabila klien bersikap demikian, konselor akan mengalami keuslitan menggali akar permasalahan yang dialami klien
C. Membangun Hubungan Konselor-Klien yang Efektif
George dan Cristiani menyebutkan enam karakteristik hubungan konseling yaitu afeksi, intensitas, pertumbuhan dan perubahan, privasi, dorongan dan kejujuran. Keenam karakteristik tersebut sebagai berikut : 1) Afeksi, 2) Intensitas, 3) Pertumbuhan dan perubahan, 4) Privasi, 5) Dorongan, 6) Kejujuran.
D. Tujuan Konseling
Krumboltz yang beraliran behavioristik mengelompokkan tujuan konseling menjadi tiga bagian yaitu :
1. Mengubah penyesuaian perilaku yang salah.
2. Belajar membuat keputusan.
3. Mencegah munculnya masalah
Adapun menurut Shertzer dan Stone tujuan konseling antara lain :
1. Kesehatan mental positif.
2. Pemecahan masalah.
3. Keefektifan pribadi.
4. Pembuatan keputusan.
5. Perubahan tingkah laku
Tujuan konseling menurut Corey antara lain :
1. Penyusunan kembali kepribadian
2. Penemuan makna hidup
3. Penyembuhan gangguan emosional
4. Penyesuaian terhadap masyarakat
5. Pencapaian kebahagiaan dan kepuasaan
6. Pencapaian aktualisasi diri
7. Pereda kecemasan
8. Penghapusan tingkah laku abnormal dan mempelajari pola tingkah laku adaptif.
BAB 3
MENCIPTAKAN KONSELING YANG KONDUSIF
A. FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPERNGARUHI PROSES KONSELING
Dalam hal ini, Gladding menjelaskan ada lima faktor yang mempengaruhi konseling yaitu struktur, inisiatif, tatanan fisik, kualitas klien dan kualitas konselor.
1. Struktur. Struktur adalah susunan proses konseling yang dilakukan konselor secara sistematis.
2. Inisiatif. Inisiatif dipandang sebagai motivasi untuk berubah. Klien yang memliki insiatif untuk memudahkan konselor dalam menangani permasalahan yang dihadapinya.
3. Tatanan Fisik. Tatanan fisik turut membantu terciptanya klien yang kondusif. Konselor yang profesional diharapkan memiliki keterampilan untuk menyiapkan ruangan, klien yang memungkinkan klien yang merasa aman, tenang, rileks dan senang.
4. Kualitas Konselor. Termasuk dalam kualitas klien adalah karakteristik klien dan kesiapannya menjalani proses konseling.
5. Kualitas Konselor. Konselor adalah pihak yang paling memahami akan dibawa kemana arah konseling dan mnegetahui sejauh mana tingkat keberhasilan konseling.
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
a. Jenis gangguan atau masalah
b. Berat/ringannya masalah atau gangguan
c. Konseling sebelumnya
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan klien
a. Usia klien
b. Jenis kelamin
c. Tingkat pendidikan
d. Inteligensi
e. Status sosial ekonomi
f. Sosial budaya
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian klien
a. Motivasi klien
b. Harapan
c. Kekuatan ego dan kepribadian
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan klien
a. Keluarga
b. Kehidupan sosial
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konselor dan proses konseling
a. Kemampuan konselor
b. Hubungan konselor dan klien.
c. Jenis konseling yang digunakan
B. MENGEMBANGKAN RAPPORT
Cara mengembangkan rapport menurut Willis antara lain:
1. Konselor meiliki sikap empati pada klien. Selain itu konselor harus bersikap terbuka, menerima tanpa syarat dan menghormati kliennya.
2. Konselor harus dapat membaca perilaku nonverbal klien, terutama yang berhubungan dengan bahasa lisannya.
3. Adanya rasa kebersamaan, intim, akrab dan minat membantu tanpa pamrih.
C. NEGOSIASI DENGAN KLIEN
Untuk melakukan negosiasi seorang konselor harus memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan Willis antara lain :
1. Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai klien.
2. Ramah, sopan, cermat dan empati.
3. Pemahaman yang memadai tentang klien yang dihadapi.
4. Tidak membosankan, tidak memaksa, tidak menyimpulkan dan tidak mengecewakan klien.
Negosiasi mneyerupai perjanjian yang dapat dilaksanakan secara tertulis atau tidak. Untuk melakukan negosiasi, konselor harus dapat mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan harapan klien.
D. PERMASALAHAN DALAM PROSES KONSELING
Menurut hasil penelitian Hadley dan Stupp maka dapat diketahui faktor – faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam konseling antara lain : 1. Konselor terlalu dalam mengekplorasi klien, 2. Konselor terlalu berhati-hati dalam mengekplorasi klien, 3. Aplikasi teknis yang tidak tepat, 3. Hubungan konseling yang tidak efektif, 4. Masalah komunikasi, 5. Fokus, 6. Kelemahan konselor.
BAB 4
LANGKAH-LANGKAH KONSELING
A. LANGKAH 1: MEMBANGUN HUBUNGAN
Willis mengatakan bahwa dalam hubungan konseling harus terbentuk a working relationship yaitu hubungan yang berfungsi, bermakna dan berguna. Konselor dan klien saling terbuka satu sama lain tanpa ada kepura – puraan. Membangun hubungan konseling juga dapat dimanfaatkan konselor untuk menentukan sejauh mana klien mengetahui kebutuhannya dan harapan apa yang ingin dicapai dalam konseling.
B. LANGKAH II: IDENTIFIKASI DAN PENILAIAN MASALAH
Hal terpenting dalam langkah ini adalah bagaimana keterampilan konselor dapat mengangkat isu dan masalah yang dihadapi klien. Sering kali klien tidak begitu jelas mengungkapkan masalahnya, atau ia hanya secara samar menjelaskannya.
C. LANGKAH III: MEMFASILITASI PERUBAHAN KONSELING
Ada beberapa strategi yang dikemukakan oleh Willis untuk mempertimbangkan dalam konseling :
1. Mengkomunikasikan nilai-nilai init agar klien selalu jujur dan terbuka sehingga dapat menggali lebih dalam masalahnya.
2. Menantang klien untuk mencari rencana dan strategi baru melalui berbagai alternatif. Hal ini akan membuatnya termotivasi untuk meningkatkan dirinya sendiri.
D. LANGKAH IV: EVALUASI DAN TERMINASI
Menurut Stewart menyusun langkah-langkah konseling yang dikenal sebagai “Stewart Model” yang terdiri atas enam tahap, yaitu :
1. Penentuan tujuan konseling.
2. Perumusan konseling.
3. Pemahaman kebutuhan klien.
4. Penjajakan berbagai alternatif.
5. Perencanaan suatu tindakan.
6. Penghentian masa konseling.
BAB 5
TEKNIK-TEKNIK KONSELING
RAGAM TEKNIK-TEKNIK KONSELING
1. Melayani (Attending)
Carkhuff menyatakan bahwa melayani klien secara pribadi merupakan upaya yang dilakukan konselor dalam memberikan perhatian secara total kepada klien. Hal ini ditampilkan melalui sikap tubuh dan ekpresi wajah.
2. Empati
Empati sangat kaitannya dengan melayani. Secara umum, empati dapat diartikan sebagai kemampuan konselor untuk dapat merasakan dan menempatkan dirinya diposisi klien.
3. Refleksi
Refleksi dapat didefinisikan sebagai upaya konselor memperoleh informasi lebih mendalam tentang apa yang dirasakan oleh klien dengan cara memantulkan kembali perasaan, pikirn, dan pengalaman klien. Ciri-ciri respon refleksi :
a. Tidak menilai (nonjudgmental).
b. Refleksi akurat dari apa yang dialami oleh pihak lainnya.
c. Ringkas.
d. Kadang-kadang lebih banyak/dalam dan pada kata-kata yang terucap.
4. Eksplorasi
Teknik ekplorasi memugkinakan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan, dan terancam. Sebagaimana refleksi, eksplorasi ada tiga jenis :
1. Eksplorasi pengalaman.
2. Eksplorasi perasaan.
3. Eksplorasi pikiran
5. Menangkap Pesan Utama (Paraphasing)
Pada dasarnya ada empat tujuan utama dari teknik paraphrasing, yaitu :
1) Untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia, dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien.
2) Mengedepankan apa yang dikemukakan klien secara lebih ringkas
3) Memberikan arah wawancara konseling
4) Pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
6. Bertanya Untuk Membuka Percakapan (Open Question)
Pertanyaan-pertanyaan terbuka sangat diperlukan untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dari klien. Untuk memulai bertanya sebaiknya jangan menggunakan kata “mengapa” dan “apa sebabnya".
7. Bertanya Tertutup (Closed Question)
Pertanyaan tertutup yaitu bentuk-bentuk pertanyaan yang sering dijawab dengan singkat oleh klien seperti “ya” atau “tidak”.
8. Dorongan Minimal (Minimal Encouragement)
Upaya utama seorang konselor adalah agar kliennya selalu terlibat dalam pembicaraan dan membuka dirinya pada konselor, dorongan ini diucapkan dengan kata – kata singkat oh, terus, selalu, dan........ Tujuannya adalah membuat klien semakin semangat untuk menyampaikan masalahnya dan mengarahkan pembicaraan agar mencapai sasaran dan tujuan.
9. Interpretasi
Dalam intrepretasi seorang konselor harus menggunakan teori-teori konseling dan menyesuaikan dengan permasalahan klien. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya subjektivitas dalam hubungan konseling.
10. Mengarahkan (Diercting)
Kemampuan mengarahkan klien juga menjadi poin penting dalam teknik konseling. Konselor harus memiliki kemampuan ini agar dapat mengajak klien berpartisipasi secara penuh dalam proses konseling. Inti dari tujuan tersebut adalah agar klien bersedia melakukan sesuatu.
11. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)
Hasil percakapan antara konselor dan konseli hendaknya disimpulkan sementara oleh konselor untuk memberikan gambaran kilas balik atas hal-hal yang telah dibicarakan sehingga klien dapat menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi dan mempertajam atau memperjelas fokus pada wawancara konseling.
12. Memimpin (Leading)
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa adakalanya klien terlalu berbelit-belit menyampaikan permasalahannya bahkan melantur dari inti permasalahan, dalam hal ini seorang konselor diharapkan memiliki keterampilan untuk memimpin percakapan agar tidak menyimpang dari permasalahan sehingga tujuan konsleing yang utama dapat tercapai sesuai sasarannya.
13. Konfrontasi
Konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang menantang klien untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi antara perkataan dan bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepribadian dan sebagainya.
14. Menjernihkan (Clarifying)
Ketika klien menyampaikan permaslahannya dengan kurang jelas atau samar bahkan dengan keraguan, maka tugas konselor adalah melakukan klarifikasi untuk memperjelas apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh klien.
15. Memudahkan (Facilitating)
Memudahkan adalah suatu keterampilan membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konsleor dan mneyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas.
16. Diam
Dalam proses konseling adakalanya seorang kosnelor perlu untuk bersikap diam. Adapun alasan konselor melakukan ini dikarenakan konselor yang menunggu klien berfikir, bentuk protes karena klien berbiacara dengan berbelit atau menunjang perilaku melayani dan empati sehingga klien bebas bicara.
17. Mengambil Inisiatif
Konselor juga harus dapat mengambil inisiatif apabila klien kurang bersemangat untuk beribicara, sering diam, dan kurang partisipatif.
18. Memberi Nasihat
Pemberian nasihat sebaiknya ditalukan jika klien memintanya. Walau demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya, apakah pantas untuk memberi nasihat atau tidak.
19. Pemberian Informasi
Jika konselor tidak memiliki informasi sebaliknya dengan jujur katakan bahwa konselor tidak mengetahui hal itu. Akan tetapi, jika konselor mengetahui informasi, sebaiknya upayakan agar klien tetap mengusahakannya.
20. Merencanakan
Tahap perencanaan disini maksudnya membicarakan kepada klien hal –hal apa yang akan menjadi program atau aksi nyata dari hasil konseling. Tujuannya adalah menjadikan klien produktif setelah mengikuti konseling.
21. Menyimpulkan
Bersamaan dengan berakhirnya sesi konseling, maka sebaliknya konselor menyimpulkan hasil pembicaraan secara keseluruhan yang menyangkut tentang pikiran, perasaan klien sebelum dan setelah mengikuti proses konseling.
BAB 6
ASSESSMENT DALAM KONSELING
Menilai dalam proses konseling sama dengan assessment. Beberapa literatur terkadang menyebutkan hanya salah satunya atau menggunakan keduanya secara bersamaan. Penulis sendiri menggunakan istilah “assessment” pada tulisan ini.
Melakukan assessment terhadap masalah yang dialami klien merupakan hal yang sangat penting dalam suatu proses konseling. Kapankah sebenarnya assessment dilakukan? Hal-hal apa saja yang menjai tolak ukur assessment? Mengapa harus dilakukan assessment? Ini adalah pertanyaan yang sering muncul jika kita berbicara tentang assessment dalam konseling. Untuk itu tulisan ini akan menguraikan pembahasan atas pertanyaan tersebut.
A. WAKTU ASSESSMENT
Waktu assessment dalam konseling bersifat fleksibel, artinya tidak ada batas waktu yang kaku bagi konselor dalam menentukannya. Dalam hal ini, sebaiknya konselor mempertimbangkan tentang apakah permasalahan klien telah terungkap atau masih kurang jelas (samar). Apabila semua informasi telah mencukupi baik informasi yang diperoleh klien sendiri maupun dari pihak lain dan konselor telah memahami secara keseluruhan permasalahan yang dialami oleh klien, maka assessment hanya akan membuat kesimpulan yang akan mengacaukan proses konseling. Beberapa kendala seorang konselor yang menghambat proses assessment adalah :
· Eksplorasi masalah belum mendalam.
· Alloanamnesis yang diperoleh tidak mencukupi sehingga konselor harus mencari informasi lain lagi.
· Klien tidak menjalani proses konseling secara rutin.
· Permasalahan klien adalah hal yang baru bagi konselor.
Apabila kendala tersebut telah mampu diatasi oleh konselor maka melakukan assessment terhadap masalah klien siap untuk dilakukan. Jangan melakukan penundaan karena alasan yang sifatnya pribadi, karena klien yang datang untuk mendapatkan bantuan dari konselor pasti mengharapkan agar konseling secepatnya mungkin dapat mengeluarkannya dari masalah.
B. ASPEK-ASPEK ASSESSMENT
Berikut aspek-aspek assessment menurut Hackney dan Cormier, sebagai berikut :
1. Intake Interview Riwayat Hidup
Intake interview adalah wawancara yang dilakukan sebelum proses konseling dimulai. Yang termasuk dalam intake interview adalah :
a. Data Identifikasi
Data ini dalah data formal klien. Data ini meliputi nama klien, alamat klien, nomor telepon, umur, jenis kelamin, dan status pernikahan. Berdasarkan data identifiksi ini, konselor dapat pula mengetahui bagaimana latar belakang kehidupan ekonomi dan status sosialnya dimasyarakat.
b. Riwayat Pribadi
Riwayat pribadi meliputi :
· Riwayat medis.
· Riwayat pendidikan.
· Riwayat pekerjaan.
· Riwayat seksual
c. Tatanan Kehidupan Klien Saat Ini
· Bagaiman klien menjalani hari-harinya ?
· Bagaimana kehidupan beragama klien ?
· Apa yang klien lakukan dihari santainya ?
· Dimana klien sering menghabiskan waktunya ?
d. Riwayat Keluarga
· Usia orang tua, pekerjaan, deskripsi kepribadian orang tua, hubungan ayah dan ibu, peranan orang tua dalam keluarga, hubungan klien dengan orang tua ?
· Hubungan klien dengan saudara-saudaranya ?
· Deskripsi kehidupan keluarga.
e. Penyampaian Masalah oleh Klien
· Bagaimana klien menyikapi masalah masalah yang dihadapinya ?
· Sejauh mana masalah ini menganggu aktivitas klien ?
· Sejak kapan dan sudah berap lama masalah ini dirasakan klien ?
· Bagaiman proses berkembangnya masalah ?
· Apa yang membuatklien bersedia menjalani konseling ?
Selain intake interview yang dilakukan oleh konselor terhadap klien untuk menggali riwayat hidupnya, maka hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah melakukan observasi. Obsevasi adalah pengamatan terhadap diri klien berdasarkan fisik yang terlihat dari luar. Hal-hal yang harus diobservasi dari klien ialah: penampilan fisik klien, pakaian, sikap tubuh, ekspresi wajah, kualitas suara, cara klien menjawab saat diinterview, jarak duduk, dan pasivitas.
2. Definsi Masalah
Setelah intake interview dilakukan, maka konselor harus melihat definisi masalah klien. Pendefinisian masalah klien. Pendefinisian masalah adalah tahapan eksplorasi masalah dilakukan. Definisi masalah bukanlah apa yang disampaikan klien pada saat intakr interview, tetapi masalah-masalah yang diungkapkan klien setelah konselor melakukan eksplorasi. Konselor harus benar-benar jeli menangkap pesan masalah sebenarnya dari klien, bukan apa yang klien nyatakan ketika wawancara. Beberapa hal yang harus diperhatikan keika seorang konselor ingin mengeksplorasi masalah kliennya menurut Hackney dan Cormier, diantaranya:
a. Unsur Masalah Klien
Unsur-unsur masalah klien dapat berasal dari fikiran, perasaan, tingkah laku, keluhan fisik, dan hubungan interpersonal. Dalam hal ini Hackney dan Cormier mengemukakan cara-cara masalah termanifestasi dalam diri klien:
· Perasaan-perasaan yang dihubungkan dengan masalah (misalnya, klien menjadi bingung, takut, gelisah, depresi, dan marah.
· Kognisi yang dihubungkan dengan masalah (termasuk pikiran, persepsi, ruminasi, dan self-talk).
· Tingkah laku yang dihubungkan dengan masalah (tingkah lakulebih bersifat nyata/tampak oleh konselor)
· Keluhan fisik dan somatic yang dihubungkan dengan masalah.
· Aspek interpersonal dari masalah (efek masalah terhadap orang disekitar klien)
b. Pola Peristiwa
Hal-hal yang perlu dieksplorasi dari pola peristiwa ini misalnya:
· Kapan masalah terjadi ? Dimana dengan siapa ?
· Apa yang terjadi sebelum masalah muncul ?
· Apa yang terjadi saat masalah muncul ?
· Apa yang terjadi setelah masalah muncul ?
· Apa yang membuat masalah membaik atau menghilang ?
· Apa yang membuat masalah menjadi semakin buruk ?
c. Lamanya Masalah
· Sudah berapa lama masalah ini terjadi ?
· Seberapa sering masalah ini terjadi ?
· Berapa lama jangka waktu penyelesaiannya jika masalah ini terjadi ?
d. Keterampilan Klien Menangani Masalahnya
· Bagaimana cara klien menanggulangi masalahnya selama ini ?
· Apakah klien pernah berhasil mengatasi masalahnya ?
· Kekuatan dan dukungan apa saja yang membantu klien menghadapi masalahnya ?
· Bagaimana pandangan klien terhadap lingkungan sekitarnya ?
· Apakah klien menggunakan nilai-nilai agama untuk menyelesaikan masalahnya ?
Selain hal-hal diatas Hackney dan Cormier juga menyarankan perlunya menggunakan alternatif lain seperti menggunakan tes-tes psikologi dan self-rating (penilaian diri sendiri). Diperlukan ketelitian dan kepekaan dari konselor untuk melihat dan melakukan penilain terhadap aspek-aspek yang menyebabkan permasalahn muncul. Sehingga tjuan dan strategi konseling dapat memenuhi kebutuhan dan harapan klien yang sesungguhnya.
C. TUJUAN ASSESSMENT
· Melancarkan prose pengumpulan informasi.
· Memungkinkan konselor membuat diagnosis yang tepat.
· Mengembangkan rencana tindakan efektif.
· Menentukan tepat atau tidaknya klien menjalani rencana tertentu.
· Menyederhanakan pencapaian sasaran dan pengukuran kemajuan.
· Meningkatkan wawasan insight mengenai diri klien.
· Mampu menilai lingkungan.
· Meningkatkan proses konseling dan diskusi yang lebih terfokus dan relevan.
· Mengindikasikan kemungkinan peristiwa tertentu akan terjadi, misal; sukses dalam usaha okupasial atau akademik.
· Meningkatkan minat, kemampuan, dan dimensi kepribadian.
· Menghasilkan pilihan-pilihan.
· Memfasilitasi perencanaan dan pembuatan keputusan.
D. EFEK DARI ASSESSMENT
Efek Positif Assessment :
· Klien merasa bahwa konselor memahami masalahnya.
· Menimbulkan perasaan lega pada diri klien.
· Klien merasa memiliki pengharapan.
· Klien termotivasi melakukanperubahan yang diperlukan.
Efek Negatif Assessment :
· Timbulnya kecemasan dalam diri klien.
· Klien merasa diinterogasi.
· Klien merasa dievaluasi dann bertanya-tanya bagaimana keadaannya sebebarnya.
BAB 7
SASARAN DAN STRATEGI DALAM KONSELING
A. SASARAN
Sasaran dalam konseling merupakan suatu langkah yang digunakan konselor dan klien untuk menunjukan arah tindakan dalam konseling. Menetapkan sasaran dalam hala yang memiliki kedudukan yang sangat penting. Sasaran yang telah ditetapkan merupakan pedoman yang digunakan untuk menggunakan evaluasi apakah konseling berjalan dengan sesuai yang diharapkan atau tidak malah membantu.
Sesorang konselor tidak dapat mnetapkan sasaran seseorang diri. Ia harus bekerja sama dengan klien, karena seorang konseling ditujukan untuk klien dan dilakukan dengan kesedian klien. Menyesuaikan sasaran dan kesiapan klien akan membuat tujuan konseling lebih maksimal.
1. Fungsi Sasaran
Fungsi sasaran bagi klien secara umum ialah klien memiliki gambaran yang lebih spisifik mengenai tindakan apa yang harus ia lakukan untuk menyelesaikan maslahnya sendiri. Jadi sasaran harus memberikan umpan baik bagi klien sehingga ia bersediah untuk terlibat. Secara khusus Hackney dan cormier menyatakan empat fungsi sasaran konseling :
a. Motivasional
b. Edukasional
c. Evaluatif
d. Assessment untuk intervensi
2. Kesulitan Penetapan Sasaran
Kesulitan dalam penetapan sasaran pada dasarnya berkaitan dengan kemampuan klien mengomunikasikan masalah secara efektif. Penetapan sasaran akan mudah dilakukan apabila pada asaat eksplorasi masalah, apa akan menjadi su sentral masalah dapat terungkap. Krumboltz dan thoresen menyebutkan bahwa unsur-unsur dalam sasaran yaitu :
a. Sasaran sesuai keinginan klien.
b. Konselor bersediah membantu klien mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
c. Konselor mampu menilai sejauh mana klien sesudah mencapai sasaran tersebut.
Krumboltz dan thoresen menbantu menangaini permasalahan ini dengan membuat peta penetapan sasaran yang terdiri dari tiga langkah sebagi berikut :
Langkah 1: Pilih sasaran utama baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Langkah 2: Buatlah subsaran .tulis lima langkah yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran.
Langkah 3: Tugas segera. Untuk setiap sasaran, tulis duah bentuk tingkah laku spisifik yang harus agra sasaran dapat tercapai.
3. Keterampilan Dalam Penetapan Sasaran
Hackney dan cormier menjelaskan dua keterampilan sebagai berikut :
a. Konfrontasi
Bentuk konfrotasi yang dilakukan konselor terhadap klaien antara lain :
· Membangkitkan perhatian klain pada bentuk penipuan diri.
· Mengonfrontasikan ketidak sesuaaian anrata kata-kata dan tindakan yang dilakukan klien.
· Menunjukan permainan dan menipulasikan yang dilakukan klien
· Menunjukan resistensi dan penghindaran yang dilakukan klien.
· Mencatat cara klien mengabaikan ptensi positif yang dimilikinya.
b. Respon “Potensi-Kemampuan”
Respon potensi kemampuan dalam menggunakan selalu diawai dengan kata “dapat bisa”, dan “mungkin anda”. Berikut penulisan berikan contoh pengguna respon “potensi kemampuan”.
· Saya pikir Anda dapat berintraksi kembali dengan orang tua anda jika saja anda mau berusaha memahami keinginan mereka.
· Kelihatannya anda bisa memperbaiki hubungan dengan pacar anda kalau anda mengetahui cara agar dia kembali memaafkan anda.
· Mungkin anda memerlukan cara lain agar bisa tampil percaya diri
Dampak Penetapan Sasaran
1. Dapat mengurangi kebingungan klien.
2. Penetapan sasaran akan membantu klien memahmai apa yang menjadi harapan dan kebutuhannya.
3. Membantu klien memilih apa yang penting dan tidak penting dalam kehidupan
4. Mendorong klien dalam membuat pilihan dan keputusan yang paling sesuai dengan nilai-nilai dan prioritas dalam hidupnya.
5. Klien menjadi lebih merasa lebihnya dengan dirinya karena dapat mengendalikan sense of inerti, merasa mampu menggerakan kekuatan yang akan akhir pada penyelesaian masalah.
6. Memberikan pandangan lain kepada klien mengenai maslah dan kprihatiannya.
7. Membuat klien yang menjadi reaktif.
B. STRATEGI
Satrategi merupakan implementasi dari sasaran. Tingkahlaku atau tindakab yang dilakukan oleh klien berdasarkan sasaran yeng telah ditetapkan adalah bentuk strategi dalam konseling. Menurut Ivey, hal yang patut dipertimbangkan agar konselor memiliki gambaran tentang klien sehingga dapat digunakan untuk merencanakan tindakan strategi adalah memahami formula DASIC-ID yang dikemukakan oleh Lazarus yaitu :
B : Bihavior merupakan bentuk tingkah laku.
A : Affect merupakan perasaan dan emosi.
S : Sensations merupakan sensasi dari penglihatan, suara, bau, sentuhan dan rasa ditambah sensualitas dan seksualitas.
I : Imagery merupakan kemampuan untuk membentuk gambaran mental mengenai kejadian ditambah dengan banyaknya khalayalan dan fantasi yang digunakan.
C : Cognition merupakan self-talk dan pikiran-pikiran tentang diri sendiri, ide dan falsafah.
I : Interpersonal relationship merupakan gaya umum ditambah dengan seberapa besarnya individu ini sebagai peple person.
D : Drugs merupakan faktor obat-obatan dan biologis/ kesehatan.
BAB 8
TERMINASI DALAM KONSELING
A. PENYEBAB TEMINASI
Pada tahap ini terminasi terjadi apabila tahapan konseling telah selesai atau diakhiri. Menurut Lesmana ada beberapa yaitu :
1. Terminasi oleh Konselor
Adapun penyebab konselor melakukan terminasi karena :
a. Sasaran konseling telah tercapai.
b. Konselor merasa bahwa klien tidak mengalami kemajuan seperti yang diharapkan, sehingga tidak ada manfaatnya bila konseling tetap dilanjutkan.
c. Konselor melihat bahwa klien terlalu bersikap dependen (bergantung terus kepada konselor) sehingga tidak mau mengambil tanggung jawabnya terhadap hidupnya sendiri.
2. Terminasi oleh Klien
Apabila terminasi dilakukan oleh klien, maka penyebabnya antara lain :
a. Klien merasa bahwa dirinya telah sembuh walaupun sebenarnya hal tersebut hanya berupa pengurangan simtom;
b. Klien merasa telah berhasil sesuai dengan disepakatan dalam konseling;
c. Terjadinya premature termination yang disebabkan karena; (a. Klien menolak pengalaman rasa sakit yang terkait dengan konseling, b) Klien tidak memiliki komitmen yang cukup untuk berubah, c) Klien tidak memiliki cukup waktu atau keuangan yang tidak mendukung, d) Klien merasa bahwa dirinya tidak mengalami kemajuan).
B. JENIS TERMINASI
1. Terminasi pada akhir sesi, menurut Lesmana yaitu :
a. Konselor biasanya yang bertindak melakukan terminasi
b. Konselor membuat kesimpualan mengenai hal-hal penting yang terjadi dalam sisi konseling
c. Konselor harus menghindari menculnya materi baru pada saat konseling berakhir.
C. LANGKAH-LANGKAH TERMINASI
Ada langkah-langkah yang harus dilakukan oleh konselor dalam melakukan terminasi menurut Lasmana yaitu :
1. Persiapan Verbal
Persiapan verbal disini dimaksud adalah konselor harus mempersiapkan diri klien melalui ungkapan-ungkapan yang mengandung makna bahwa konseling akan diakhiri.
2. Membuka Jalur Kemungkinan Follow-Up
Follow-up digunakan untuk meyakinkan klien bahwa konseling tidak hanya ada disaat klien berada dalam tekanan/masalah, tetapi konselor juga akam membantu klien untuk mendukung kemajuan-kemajuan yang telah diperolehnya selam menjalani sesi konseling.
3. Pamit Secara Formal
Adapun langkah-langkahnya yaitu :
a. Konselor menyampaikan terima kasih kepada klien.
b. Menyampaikan permohonan maaf apabila ada kekeliruan.
c. Memberkan dukungan atau sugesti pada klien agar tetap berpikir maju.
D. FONEMENA OVERTREATMENT DAN UNDERTREATMENT
1. Overtreatment
Menurut Brammer, Abrego, dan Shostrom konsep dalam Overtreatment yaitu :
a. Konselor yang “menahan” klien untuk tetap menjalani konseling sehingga melampaui batas-batas etis yang ditentukan.
b. Konselor yang tetap “menahan” klien meskipun konselor tidak kompeten dalam menanganinya.
2. Undertreatment
Menurut Brammer, Abrego, dan Shostrom konsep dalam Undertreatment yaitu :
a. Therapeutic Nihilism
b. Diagnostic Failure
c. Passive Methods
d. Lack Of Confidence
e. Lenience
f. Overwork
BAB 9
BERBAGAI PENDEKATAN DALAM KONSELING
A. PENDEKATAN PSIKOANALISIS
Corey mengatakan bahwa psikoanalisis merupakan teori pertama yang muncul dalam psikologi khususnya yang berhubungan dengan gangguan kepribadian dan prilaku neurotik, kemudian disusul oleh behaviorisme dan ekstensial humanistis. Psikoanalisis diciptakan oleh Sigmund freud pada tahun 1996. Pada kemunculannya, teori freud ini banyak mengundang kontroversi, eksplorasi, penelitian dan dijadikan landasan berpijak bagi aliran lain yang muncul kemudian bagi aliran lain yang muncul kemudian. Menurut Willis pengrtian psikoanalisis meliputi tiga aspek penting yaitu :
a) Sebagai Metode Penelitian Proses-Proses Psikis.
b) Teknik Untuk Mengobati Gangguan-Gangguan Psikis.
c) Sebagai Teori Keperibadian.
1. Dinamika Keperibadian Manusia
Freud memandang kepribadian manusia tersusun atas tiga system yaitu Id, ego, dan superego sebagai berikut :
a. Id
Id merupakan subsistem keperibadian asli yang dibawa manusia sejak awal ia dilahirkan kedunia.
b. Ego
Ego berperan menghadapi realitas hidup dan berasal dari kebudayaan dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Ego sebagai eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur.
c. Superego
Superego merupakan kode moral bagi individu yang menetukan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah.
2. Perkembangan Keperibadian
Dan penjelasan diatas freud juga membagi lima perkembangan psikoseksual, diantaranya :
a. Fase Oral pada fase ini masih berumur 0-1 tahun dan bayi mengetahui cara menghisap susu ibunya.
b. Fase Anal pada fase ini retang berumur 1-3 tahun dan dia mengetahu bagaimana buang air, belajar mandiri memiliki kekuatan pribadi dan otonomi serta belajar.
c. Fase Phalik rentang berumur 3-5 tahun adapun zona kenikmatan berada pada alat kelamin.dan perkembangan hati nurani.
d. Fase Laten rentang berumur 6-12 awal masa ini awal pubertas.
e. Fase Genital rentang berumur diatas 12 tahun pada fase ini terjadi masa pubertas.
3. Kesadaran Dan Ketidaksadaran
Kesadaran dan Ketidaksadaran adalah bagian konsep terpenting yang dikemukakan oleh freud. Freud membagi kesadaran menjadi tiga yaitu :
a. Alam Sadar (Conscious). Alam sadar merupakan bagian yang berfungsi untuk mengingat, menyadari, dan merasakan, sesuatu secara sadar atau nyata.
b. Alam Prasadar. Alam prasadar adalah bagian kesadaran yang menyimpan ide, ingatan, dan perasaan,dan berfungsi mengantarkan ide, ingatan dan perasaan tersebut kealam sadar jika individu berusaha mengingatnya kembali.
c. Alam Bawah Sadar. Alam bawah sadar adalah bagian dari dunia kesadaran yang paling menentukanterbentuknya tingkah laku atau kepribadian.
4. Mekanisme Pertahankan Ego
Mekanisme pertahankan ego adalah cara yang digunakan individu untuk mengatasi kecemasan yang diakibatkan karena keinginannya tidak terpenuhi. Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego adalah represi, penyangkalan, formasi proyeksi, introyeksi, regresi, fiksasi, disploment, represi, rasionalisi, sublimasi, kompensasi, dan identifikasi.
5. Peran Dan Fungsi Konselor
Menurut corey, mengatakan bahwa peran dan fungsi utama konselor dalam psikoanalisis adalah membantu klien mencapai kesadaran dirinya, jujur, mampu melakukanhubungan personal yang efektif maoun mengenai kecemasan secara realities dan mampu mengendalikan tingkah laku yang impulatifdan irasional.
6. Tujuan Psikoanalisis
Tujuan khusus psikoanalisis adalah membentuk kembali struktur kepribadian individu melalui pengungkapan hal-hal yang tidak disadari.
7. Teknik Terapi Dalam Psikoanalisis
Konselor perlu mengetahui bahwa teknik-teknik terapi dalam psikoanalisis harus dilakukan untuk mencapai psikoanalisis, dalam hal ini ada lima teknik dasar yang digunakan konselor yaitu :
a. Asosiasi bebas yaitu klien bebas mengatakan perasaan, pikiran, dan renungan baik baik maupun buruk.
b. Analisis mimpi yaitu seorang konselor harus mengetahui symbol-simbol dari isi manifes mimpi, sehingga dapat mengetahui isi laten klien.
c. Analisis resistensi yaitu klien yang didorang perasaan yang direpresi.
d. Analisis transferensi yaitu reaksi klien yang melihat konselor sebagai orang yang paling dekat dan penting dalam kehidupan.
e. Penafsiran adalah cangkupan dari beberapa tenik terapi.
B. PENDEKATAN EKSISTENSIAL-HUMANISTIS
Pendekatan eksistensi-humanistis pada hakikatnya mempercayai bahwa individu memiliki potensi untuk secara aktif memilh dan membuat keputusa bagi dirinya sendiri dan lingkunganya. Pendekatan ini sangat menekankan tentang kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan tindakan, tetapi harus berani bertanggung jawab sekalipun mengandung resiko bagi dirinya.
C. PENDEKATAN CLIENT-CENTERED
Pada pendekatan ini carl roger meyatakan bahwa manusia adalah pribadi-pribadi yang memiliki potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri. Dan pendekatan ini dikembangkan atas anggapanya mengenai keterbatasan dari psikoanalisa. Tujuan client-centered yaitu:
1. Dinamika Keperibadian Manusia
Pendekatan client-centered memandang kepribadian manusia secara positif. Menurut roger dinamika kepribadian manusia adalah unik dan positif. Setiap individu memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya secara terarah dan konstruktif.
2. Peran Dan Fungsi Konselor
Menurut roger peran konselor adalah sikap dari teknik konseling, dan fungsi konselor adalah membangun iklim konseling yang menunjang pertumbuhan klien.
3. Tujuan Client-Centered
Tujuan client-centered adalah menciptakan suasana konseling yang kondusif untuk membantu klien menjadi pribadi yang dapat berfungsi secara utuh dan positif.
4. Teknik-Teknik Client-Centered
Menurut roger tenik-teknik client-centered sebagai berikut :
a. Empathy adalah kemampuan untuk sama-sama merasakan kondisi klien dan menyampaikan kembali perasaan tersebut.
b. Positive Regard adalah menerima keadaan kluen apa adanya secara netral.
c. Congruence adalah konselor menjadi pribadi yang terintegrasi antara apa yang dikatakan dan yang dilakukannya.
D. TERAPI GESTTALT
Terapi Gestalk merupakan bentuk terapi perpaduan antara eksistensi-humanistik dan fenomologi, sehingga memfokuskan diri pada pengalaman “here and now” dan memadukannya dengan bagian-bagian keperibadian yang terpecah dimasa lalu. Teknik-teknik dalam terapi ini sebagai berikut :
1. Dinamika Kepribadian Manusia
Gestalt memandang bahwa manusia itu secara positifyang memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu.
2. Peran Dan Fungsi Konselor
Peran dan fungsinya yaitu sebagai orang yang memberikan perhatian pada bahasa tubuh klien.
3. Tujuan Terapi Gestalt
Tujuannya yaitu untuk dapat mengembangkan kepribadiannya secara menyeluruh dan memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahannya sendiri.
4. Teknik Terapi Gestalt
Pada teknik terapi gestalt ini mengggunakan seperti teknik permainan.
E. TERAPI TINGKAH LAKU (BEHAVIORISME)
Pada terapi tingkah laku behaviorisme ini para ahli memandang bahwa gangguan tingkah laku adalah akibat dari proses belajar yang salah. Teknik-tekniknya sebagai berikut :
1. Dinamika Kepribadian Manusia. Bahwa kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan dimana dia berada.
2. Peran Dan Fungsi Konselor. Peran dan fungsi konselor adalah sebagai guru, pengarah, penasehat, konsultan, mengubah tingkah laku kliennya menjadi tingkah laku adaptif
3. Tujuan Terapi Behaviorisme. Tujuan terapi behaviorisme adalah menciptakan kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga prilaku simtomatik dapat dihilangkan.
4. Teknik Terapi Behaviorisme. Teknik terapi behaviorisme terbagi dua yaitu :
a. Tekni-Teknik Tingkah Laku Umum. Ada beberapa bentuk, diantaranya :
1) Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien tingkah laku baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien.
2) Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara bertahap.
3) Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang.
b. Teknik-Teknik Spesifik, meliputi :
1) Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
2) Pelatihan asertivitas. Teknik ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif.
3) Time-out. Merupakan teknik aversif yang sangat ringan.
4) Implosion dan flooding. Teknik implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara berulang-ulang.
F. TERAPI RASIONAL-EMOTIF
Menurut pandangan Ellis, terapi rasional-emotif adalah teori yang komrehensif karena menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan individu secara keseluruhan yang mencakup aspek emosi, kognisi, dan perilaku. Pada teknik ini diuraikan menjadi 4 yaitu :
1. Dinamika Keribadian Manusia
Dinamika keribadian manusia pada hakikatnya bahwa manusia dilahirkan dengan potensi baik dan buruk.
2. Peran Dan Fungsi Konselor
Peran dan fungsi konselor adalah konselor mengajarkan dan mendidik dan memberikan pelajaran pada klien serta memperkuatkan proses berpikirnya.
3. Tujuan Terapi Rasional-Emotif
Tujuan terapi rasional-emotif adalah memperbaiki dan mengubah sikap individu dengan cara mengubahcara berpikir dan keyakinan klien yang irasional menuju rasional
4. Teknik Terapi Rasional-Emotif
Teknik terapi rasional-emotif dalah mengajarkan proses aktif-direktif.
G. TERAPI REALITAS
Terapi realitas ini adalah tingkah laku sekarang yang di tampilkan individu. Menurut corey, ada beberapa terapi realitas yaitu :
1. Menolak konsep penyakit mental.
2. Berfokus pada tingkah laku sekarang, bukan pada masa lalu.
3. Menekankan pertimbangan nilai.
4. Tidak menekankan transferensi.
5. Mengacu pada aspek kesadaran bukan aspek ketidaksadaran.
6. Menghapus konsep pemberitahuan hukuman.
7. Menekankan tanggung jawab pada diri individu
Pada terapi realitas ada 4 bagian yaitu :
1. Dinamika kepribadian manusia. Dinamika keribadian pada terapi realitas dalah manusia harus bertanggung jawab.
2. Peran dan fungsi konselor. Konselor membantu klien agar dapat menilai tingkah lakunya secara realistis.
3. Tujuan terapi realitas. Tujuan terapi realitas adalah untuk mencapai identitas keberhasilan.
4. Teknik-teknik realitas. Menurut corey pada terapi realitas ini tidak menggunakan teknik tetapi obat-obatan.
H. PENDEKATAN EKLEKTIK
Pendekatan eklektik dikenal sebagai konseling integrative, dan teori ini menggunakan semua teori konseling dan bersifat fleksibel. Pada Pendekatan eklektik ada 4 hal yang mencakup yaitu :
1. Dinamika keperibadian manusia. Pada pendekatan ini menyadarkan diri pada konsep-konsep teori secara keseluruhan. Eklektik memandang kepribadian manusia sebagai bagian yang terintegrasi, bersifat psikologis, mengalami perubahan yang dinamis, aspek perkembangan dan dipengaruhi faktor sosial budaya.
2. Peran dan fungsi konselor. Peran dan fungsi konselor pada pendekatan ini konselor harus sesuai dengan konsep teori yang digunakannya dalam menangani kasus klien ( menyesuaikan kondisi klien).
3. Tujuan eklektik. Tujuan eklektik akan dapat dicapai apabila klien telah dapat menyadari sepenuhnya bagaimana situasi masalah-masalah sebenarnya yang dihadapinya.
4. Tahapan eklektik. Menurut carkhuff, tahapan eklektik terbagi enam yaitu : a) Tahap eksplorasi masalah, b) Tahap perumusan masalah, c) Tahap identifikasi alternative., d) Tahap perencanaan, e) Tahap tindakan/komitmen, f) Tahap penilaiam dan umpan balik.
BAB 10
KONSELING KELOMPOK
Pada awalnya pelaksanaan konseling hanya dilakukan secara perorangan/individual dimana seorang konselor berhadapan dengan seorang klien di setiap sesi konseling untuk bersama-sama mengatasi masalah klien. Sesuai dengan penggunaan kata “kelompok” tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa dalam konseling kelompok terdapat beberapa orang klien yang ditangani oleh konselor dalam waktu bersamaan.
Dengan demikian, apabila ditinjua dari jumlah klien, maka konselor dapat dibedakan menjadi :
1. Konseling individual yaitu konseling yang dikhususkan pada satu orang klien.
2. Konseling kelompok yaitu konseling yang diberikan pada beberapa orang klien.
A. SEKILAS KONSELING KELOMPOK
Winkel menjelaskan konseling kelompok merupakan pelaksanaan proses konseling yang dilakukan antara seorang konselor profesional dan beberapa klien sekaligus dalam kelompok kecil. Sementara menurut Gazda, konseling kelompok merupakan hubungan antara beberapa konselor dan beberapa klien yang berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari. Ia menyatakan bahwa konseling kelompok ini bertujuan untuk memberikan dorongan dan pemahaman pada klien untuk memecahkan masalahnya.
Menurut Latipun, menambahkan bahwa konseling kelompok adalah bentuk konseling yang membantu beberapa klien normal yang diarahkan mencapai fungsi kesadaran secara efektif. Konseling kelompok biasanya dilakukan untuk jangka waktu pendek atau menengah. Ada beberapa penanganan masalh lainnya yang menerapkan konsep konseling kelompok dalam praktiknya, antara lain seperti psikoterapi kelompok, kelompok latihan dan pengembangan, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan self-help.
Dengan demikian, konseling kelompok telah menciptakan kesempatan bagi banyak individu untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya tidak seorang diri. Melalui konseling kelompok, klien akan memperoleh umpan balik berupa tanggapan dan pengalaman klien lain ketika mengatasi masalahnya. Klein yang awalnya memiliki ketakutan untuk mengekspresikan dirinya menghadapi kenyataan akan lebih aktif dalam berinteraksi.
B. KLIEN DALAM KONSELING KELOMPOK
Ada beberapa tipe klien yang terdapat dalam konseling kelompok. Menurut Shertzer&Stone, karakteristik klien yang cocok mengikuti konseling kelompok adalah :
1. Klien yang merasa bahwa mereka perlu berbagi sesuatu dengan orang lain dimana mereka membicarakan tentang kebimbangan, nilai hidup, dan masalah yang dihadapi.
2. Klien yang memerlukan dukungan dari teman senasib sehingga dapat saling mengerti.
3. Klien yang membutuhkan pengalaman dari orang lain untuk memahami dan memotivasi diri.
Sementara itu, George dan Cristiani, menyatakan karakteristik klien yang tidak sesuai mengikuti konseling kelompok adalah sebagai berikut :
1. Klien yang berbeda dalam keadaan kritis.
2. Klien yang tidak ingin masalahnya diketahui orang lain karena bersifat konfidensial sehingga harus dilindungi dan dijaga kerahasiaannya.
3. Memiliki ketakutan bicara yang luar biasa.
4. Tidak mampu menjalani hubungan interpesonal.
5. Memiliki kesadaran yang sangat terbatas.
6. Klien yang mengalami penyimpangan seksual.
7. Klien yang membutuhkan perhatian yang sangat besar.
Oleh karena itu, peran serta seluruh anggota kelompok sangat diperlukan untuk mewujudkan situasi konseling yang saling membangun, mendukung, dan harmonis. Adapun peran serta anggota konseling kelompok yaitu :
1. Berperan aktif yang ditunjukkan melalui sikap 3M (mendengar dengan aktif, memahami dengan positif, dan merespon dengan tepat).
2. Bersedia berbagai pendapat, ide, dan pengalaman.
3. Dapat menganalisis.
4. Aktif membina keakraban dan menjalani ikatan emosional.
5. Dapat mematuhi etika kelompok.
6. Dapat menjaga kerahasiaan, perasaan, dan bersedia membantu anggota kelompok.
7. Membina kelompok dengan tujuan mencapai keberhasilan kegiatan kelompok.
C. KONSELOR DALAM KONSELING KELOMPOK
Sehubung dengan perannya tersebut, Capuzzi dan Gross, mengatakan bahwa tugas konselor adalah melakukan pemeliharaan, pemrosesan, penyaluran, dan arahan. Uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Pemeliharaan (provinding)
Konselor berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk tetap menjaga dan memelihara hubungan baik dengan klien. Selain itu, konselor harus dapat menumbuhkan dan memelihara suasana konseling yang kondusif.
2. Pemrosesan (processing)
Konselor berperan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yeng terdapat dalam proses konseling yang meliputi eksplanasi, klasifikasi, interpretasi, dan memberikan kerangka kerja untuk perubahan atau menuangkan gagasan kepada anggota kelompok.
3. Penyaluran (catalyzing)
Konselor berperan mendorong terbentuknya interaksi positif dengan sesama anggota kelompok melalui pengalaman terstuktur dan pemberian model.
4. Pengarahan (directing)
Pengarahan disini dimaksudkan bahwa konselor mengarahkan proses konseling seperti dala hal membatasi topik, mengarahkan peran anggota kelompok, mengarahkan norma dan tujuan kelompok, pengaturan waktu, langkah-langkah yang diambil, menghentikan proses konseling, menengahi perselisihan anggota, dan menegaskan prosedur.
D. TUJUAN KONSELING KELOMPOK
Adapun tujan konseling kelompok menurut Bariyah, adalah :
1. Membantu individu mencapai perkembangan yang optimal.
2. Berperan mendorong munculnya motivasi kepada klien untuk merubah perilakunya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
3. Klien dapat mengatasi masalahnya lebih cepat dan tidak menimbulkan gangguan emosi.
4. Menciptakan dinamika sosial yang berkembang intensif.
5. Mengembangkan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial yang baik dan sehat.
Ada beberapa kelebihan atau keuntungan yang dapat diperoleh klien melalui konseling kelompok seperti yang dikemukakan Hough, berikut ini :
1. Konseling kelompok menerapkan pendekatan yang menjalin hubungan perasaan sebagai sebuah kelompok dalam masyarakat yang sudah saling terasing dan tidak memiliki aturan yang jelas.
2. Kelompok juga saling memberikan dukungan dalam menghadapi masalah yang dihadapi setiap orang.
3. Kelompok dapat memberikan kesempatan untuk belajar antara satu sama lain.
4. Kelompok dapat menjadi motivator bagi masing-masing klien. Mereka yang merasa telah menjadi anggota kelompok akan berusaha menyesuaikan perilakunya dengan harapan kelompok.
5. Kelompok dapat menjadi tempat yang baik untuk menguji dan mencoba perilaku yang baru.
6. Kelompok menanamkan perasaan tentram kepada anggotanya karena mereka bebas dapat berbicara dengan orang yang tidak akan menertawakan atau merendahkan mereka karena masing-masing memiliki masalah.
7. Anggota-anggota kelompok yang ada dapat saling membantu dengan menjadi buddy (pasangan yang selalu dapat memberikan pertolongan dan bersedia membantu) dan juga dapat menjadi mentor kepada anggota kelompok yang lain.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSELING KELOMPOK
Menurut Yalom, menyebutkan sebagai faktor kuratif, berikut ini adalah penjelasannya :
1. Membina harapan
Harapan akan menimbulkan perasaan optimis pada diri klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Melalui harapan, klien akan belajar memahami dan mengembangkan kemampuan/potensi yang dimilikinya. Adanya keterlibatan dalam kelompok untuk saling membantu mewujudkan tujuan bersama yang ingin dicapai.
2. Universalitas
Universalitas akan mengurangi tingkat kecemasan klien karena mengetahui bahwa hanya dirinya yang memiliki masalah. Untuk itulah memberikan pemahaman pada klien bahwa permasalahan adalah hal yang wajar dalam kehidupan sangat diperlukan agar klien tertantang untuk mengatasi masalahnya.
3. Pemberian informasi
Informasi dapat diperoleh melalui pimpinan kelompok (konselor) maupun dari anggota kelompok lain. Informasi ini meliputi pengalaman dari anggota kelompok, pemecahan masalah yang ditawarkan oleh konselor atau anggota kelompok dan hal yang bermakna bagi kehidupan klien.
4. Altruisme
Altruisme mengacu kepada proses memberi dan menerima. Hal ini akan mendorong terjadinya umpan balik antar-anggota.
5. Pengulangan korektif keluarga primer
Pengulangan korektif keluarga primer dimaksudkan untuk menjalin kedekatan emosional antar-anggota dan konselor. Hal ini akan lambat laun akan dipelajari oleh anggota kelompok sehingga dapat mencoba perilaku baru dalam berhubungan dengan orang lain.
6. Pengembangan teknik sosialisasi
Teknik sosialisasi berhubungan dengan cara anggota kelompok menjalani hubungan interpersonal. Masing-masing anggota belajar untuk dapat mengomunikasikan keinginannya dengan tepat, memberikan perhatian dan dapat memahami orang lain.
7. Peniruan tingkah laku
Peniruan tingkah laku diperoleh dari pengalaman atau hasil identifikasi anggota kelompok yang disarankan layak untuk ditiru. Mendapatkan model positif yang dapat ditiru akan sangat menguntungkan anggota karena memudahkannya dalam mempelajari tingkah laku baru yang lebih positif.
8. Belajar menjalin hubungan interpersonal
Anggota kelompok diharapkan dapat saling belajar menjalani hubungan interpersonal dengan kelompoknya. Seperti halnya; berani mengekspresikan diri, merespons, serta meningkatkan sensitivitas terhadap masalah anggota kelompok.
9. Kohesivitas kelompok
Kohesivitas tidak terjadi begitu saja. Ada bentuk penerimaan yang hangat serta hubungan interpersonal yang akrab. Apabila kohesivitas telah terbentuk, masing-masing anggota akan dapat berinteraksi secara optimal dan tanpa keraguan memberikan umpan balik demi kemajuan anggota kelompok.
10. Katarsis
Anggota kelompok diharapkan dapat melepaskan katarsis yang dimilikinya melalui pengungkapan perasaan baik secara positif maupun negatif. Melalui katarsis, anggota kelompok dapat menyadari emosinya dan membuangnya ke alam sadar sehingga tidak menimbulkan represi yang dapat berakibat fatal.
11. Faktor-faktor eksistensial
Faktor-faktor eksistensial perlu dibicarakan dan menjadi bahan diskusi bagi anggota kelompok. Untuk itu, anggota kelompok dapat termotivasi mengatasi masalahnya untuk mencapai kehidupan yang lebih banyak. Menanamkan tanggung jawab pada klien juga bagian dari faktor eksistensial yang harus dibicarakan.
F. STRUKTUR KONSELING KELOMPOK
Corey, Gazda, Ohlsen, dan Yalom, telah menyusun struktur dalam konseling kelompok, berikut ini adalah penjelasannya :
1. Jumlah Anggota Kelompok
Yalom, jumlah kenggotaan pada konseling kelompok terdiri dari empat sampai 12 orang klien, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila jumlah anggota kelompok kurang hidup, sebaliknya bila anggota kelompok karena jumlah anggota kelompok terlalu besar. Oleh karena itu, penetapan jumlah anggota kelompok ini bersifat sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang ingin diciptakan klien dan konselor.
2. Homogenitas Kelompok
Permasalahan homogenitas atau heterogenitas dalam konseling kelompok tentu saja relatif artinya tidak ada ketentuan yang baku dalam menentukan karakteristik kliennya dapat disebut homogen atau heterogen. Beberapa konseling kelompok memandang bahwa homogenitas kelompok dilihat berdasarkan jenis kelamin klien yang sama, jenis masalah yang sama, dan kelompok usia yang sama. Kaplan dan Sadock, mengatakan bahwa penentuan homogenitas ini kembali disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok.
3. Sifat Kelompok
Ada dua maca, sifat kelompok yang terdapat dalam konseling kelompok, yaitu :
a. Sifat terbuka
Dikatakan sifat terbuka karena pada kelompok ini dapat menerima kehadiran anggota baru setiap saat sampai batas yang telah ditetapkan. Contoh: sebuah kelompok telah hadir lina orang anggota, kemudian minggu berikutnya ada dua orang klien yang akhirnya dimasukkan konselor ke dalam anggota kelompok, karena dianggap memiliki homogenitas dengan kelompok yang telah terbentuk. Efek samping dari sifat terbuka adalah anggota kelompok akan kesulitan membentuk kohesivitas dengan sesama anggota.
b. Sifat tertutup
Bersifat tertutup maksudnya adalah konselor tidak memungkinkan masuknya klien baru untuk tergabung dalam kelompok yang telah terbentuk. Contoh: sebuah kelompok terdiri dari empat orang maka sampai proses konseling kelompok berakhir, jumlah ini tidak akan bertambah. Efek samping sifat tertutup adalah apabila ada anggota kelompok yang keluar karena alasan pribadi, sistem keanggotaan tidak dapat menerima masuknya anggota baru sehingga harus melanjutkan konseling dengan sisa anggota yang ada.
4. Waktu Pelaksanaan
Yalom, mengatakan bahwa durasi konseling yang terlalu lama yaitu di atas dua jam akan menjadi tidak kondusif, karena anggota mengalami kelelahan dan memungkinkan terjadinya pengulangan pembicaraan. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek (short-term group counseling), Latipun, mengatakan bahwa waktu pertemuan berkisar antara 8 hingga 20 pertemuan. Frekuensi peremuan satu hingga tiga kali dalam seminggu. Dan durasi anara 60-90 meneit/sesi. Hal ini dikarenakan apabila terlalu jarang (misalnya, satu kali dalam dua minggu) akan menyebabkan banyaknya informasi dan umpan balik yang terlupakan.
G. TAHAPAN KONSELING KELOMPOK
Corey dan Yalom, yang membagi tahapan transisi, tahap kerja, tahap akhir dan pascakonseling. Berikut adalah uraiannya.
1. Prakonseling
Tahap prakonseling dianggap sebagai tahap persiapan pembentukan kelompok. Adapun hal-hal mendasar yang dibahas pada tahap ini adalah para klien yang telah diseleksi akan dimasukkan dalam keanggotaan yang sama menurut pertimbangan homogenitas. Setelah itu, konselor akan menawarkan program yang dapat dijalankan untuk mencapai tujuan. Konselor juga perlu menekankan bahwa pada konseling kelompok hal penting utama adalah keterlibatan klien untuk ikut berpartisipasi dalam keanggotaannya dan tidak sekedar hadir dalam pertemuan kelompok.
2. Tahap permulaan
Tahap ini ditandai dengan dibentuknya struktur kelompok. Adapun manfaat dari dibentuknya struktur ini adalah agar anggota kelompok dapat memahami aturan yang ada dalam kelompok. Black, menguraikan secara sistematis langkah yang dijalani pada tahap permulaan adalah perkenalan, pengungkapan tujuan yang ingin dicapai, penjelasan aturan dan penggalian ida dan perasaan.
3. Tahap transisi
Transisi atau tahap peralihan. Hal umum yang sering kali muncul pada tahap ini adalah terjadinya suasana ketidakseimbangan dalam diri masing-masing anggota kelompok. Oleh karena itu, konselor selaku pimpinan kelompok harus dapat mengontrol dan mengarahkan anggotanya untuk merasa nyaman dan menjadikan anggota kelompok sebagai keluarganya.
4. Tahap kerja
Tahap ini dilakukan setelah permasalahan anggota kelompok diketahui penyebabnya sehingga konselor dapat melakukan langkah selanjutnya yaitu menyusun rencana tindakan.
5. Tahap akhir
Tahap ini adalah tahapan dimana anggota kelompok mulai mencoba perilaku baru yang telah mereka pelajari dan dapatkan dari kelompok. Oleh karena itu, tahap akhir ini dianggap sebagai tahap melatih diri klien untuk melakukan perubahan.
6. Pasca-konseling
Jika proses konseling telah berakhir, sebaiknya konselor menetapkan adanya evaluasi sebagai bentuk tindak lanjut dari konseling kelompok. Evaluasi bahkan sangat diperlukan apabila terdapat hambatan dan kendala yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan dan perubahan perilaku anggota kelompok setelah proses konseling berakhir. Karena inilah inti dari konseling kelompok yaitu untuk mencapai tujuan bersama.
H. INTERAKSI DALAM KONSELING KELOMPOK
Interaksi dapat berlangsung positif apabila pada interaksi kelompok tersebut terjadi kohesivitas, saling memberi umpan balik, dan terjalin kedekatan emosional antar-anggota. Sebaliknya, interaksi dapat berlangsung negatif apabila pada interaksi terjadi hal-hal yang mengacaukan proses konseling. Latipun, mengemukakan interaksi negatif tersebut seperti berikut ini :
1. Konflik, yaitu terjadinya pertentangan antar-anggota kelompok yang dapat disebabkan karena ketidaksiapan menerima umpan balik, atau umpan balik disampaikan secara negatif.
2. Kecemasan. Kecemasan ini kemungkinan disebabkan sikap tertutup pada anggota yang sulit membuka diri dan berinteraksi dengan kelompok lain. Hal ini biasanya terjadi pada klien yang memiliki perasaan rendah diri.
3. Transferensi. Anggota kelompok kemungkinan melimpahkan pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan pada konselor atau anggota kelompoknya. Hal ini akan menghambat proses konseling apabila konselor tidak dapat mengendalikannya.
4. Dominansi. Terjadi apabila salah satu anggota menguasai pembicaraan sementara anggota lain tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan masalahnya. Hal ini akan membuat anggota kelompoknya lebih banyak diam dan menolak menyampaikan umpan balik.
I. KERAHASIAAN DALAM KONSELING KELOMPOK
Konselor perlu menyampaikan aturan menjaga kerahasiaan ini di awal pertemuan dengan seluruh anggotanya. Dalam kode etik telah dijelaskan bahwa konselor wajib menjaga kerahasiaan. Akan tetapi, pada beberapa situasi konselor dapat membuka rahasia anggota kelompok. Menurut Corey, Pengecualian itu antara lain:
1. Kerika klien membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Misalnya, klien berencana bunuh diri.
2. Konselor yakin bahwa kliennya yang berusia dibawah 16 tahun mengalami korban inses, perkosaan, pelecehan anak, atau kejahatan lainnya.
3. Bila konselor yakin bahwa klien memerlukan hospitalisasi.
4. Ketika konselor mendapatkan panggilan dari pengadilan.
5. Apabila klien meminta catatannya diserahkan kepada dirinya sendiri atau kepada orang lainnya.
BAB 11
KONSELING KELUARGA
A. PENGERTIAN KONSELING KELUARGA
Menurut Golden dan Sherwood, konseling keluarga adalah metode yang dirancang dan difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan masalah perilaku klien. Menurut Crane, yang mendefinisikan konseling keluarga sebagai proses pelatihan yang difokuskan kepada orang tua klien selaku orang yang paling berpengaruh menetapkan sistem dalam keluarga. Dan menurut Hasnida mendefinisikan konseling keluarga sebagai suatu ptoses interaktif yang berupaya membantu keluarga memperoleh keseimbangan homeostatis (kemampuan mempertahankan keluarga dalam keadaan seimbang) sehingga anggota keluarga dapat merasa nyaman.
Adapun prinsip-prinsip dalam konseling keluarga, yaitu :
1. Kedudukan setiap anggota sejajar artinya tidak ada satu yang lebih penting dibandingkan yang lain.
2. Situasi saat ini merupakan penyebab masalah keluarga sehingga harus diubah adalah prosesnya.
3. Konselor tidak memerhatikan diagnostik dari permasalahan keluarga.
4. Selama intervensi berlangsung, konselor harus melibatkan dirinya secara utuh sebagai bagian dalam dinamika keluarga klien.
5. Konselor harus berupaya menimbulkan keberanian setiap anggota keluarga agar berani mengungkapkan pendapatnya dan dapat berinteraksi satu sama lain sehingga menjadi “intra family involved”.
6. Relasi konselor dengan anggota keluarga bersifat sementara karena relasi yang permanen akan berdampak negatif bagi penyelesaian konseling.
7. Supervisi dilakukan secara nyata.
Dengan demikian, konseling keluarga lebih menekankan permasalahan klien sebagai masalah “sistem” yang ada dalam keluarga sehingga memandang klien sebagai bagian dari kelompok tunggal/satu kesatuan dengan keluarganya.
B. PERMASALAHAN DALAM KELUARGA
Permasalahan dalam keluarga sangatlah beraagam. Beberapa orangtua mengalami kesulitan dalam menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Hal ini dapat saja dikarenakan ketidaksiapan membina rumah tangga di awal pernikahan, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ekonomi, kesalahan dalam mendidik anak dan lain sebagainya. Dalam hal ini Minuchin menjelaskan penyebab masalah keluarga dalam “Triad yang kaku” antara lain:
1. Detouring atau saling melimpahkan kesalahan. Misalnya, orangtua bertengkar dan saling menyalahkan, karena anaknya tidak naik kelas.
2. Anak dan orang tua berkoalisi/bersatu untuk melawan orangtua yang lain.
3. Anak berkoalisi dengan anggota keluarga yang mengalami konflik secara tertutup terhadap anggota keluarga lain. Istilah ini dikenal sebagai triangulasi (orang ketiga). Misalnya, seorang anak membela dan membantu ibunya untuk melawan sang ayah.
Adapun masalah yang sering kali dihadapi konselor menurut Collins antara lain :
a. Ketidakmampuan berinteraksi antar-anggota keluarga dalam menangani masalah. Ketidakmampuan berinteraksi secara utuh dalam keluarga dapat disebabkan karena :
1. Ketidakmampuan mengkomunikasikan perasaan kepada anggota keluarga secara efektif.
2. Hubungan antar-anggota keluarga yang tidak akrab satu sama lain.
3. Adanya aturan dalam keluarga yang terlalu kaku atau sama sekali tidak memiliki aturan.
4. Keengganan mengungkapkan rahasia pribadi dengan anggota keluarga.
5. Ketidakmampuan menyesuaikan tujuan antara anak dan orang tua.
6. Terjadinya pertentangan nilai/cara berpikir antara anak dan orang tua.
b. Kurangnya komitmen dalam keluarga.
c. Ketidakmampuan menjalankan peran dalam keluarga.
d. Kurangnya kestabilan lingkungan.
C. PENDEKATAN DALAM KONSELING KELUARGA
Konseling keluarga memiliki berbagai pendekatan dalam praktik konselingnya, sebagai berikut :
1. Pendekatan Sistem Keluarga
Menurut Murray Bowen “Teori keluarga Bowen” keluarga merupakan suatu sistem hubungan emosional yang memiliki delapan konsep kekuatan yang saling berkaitan untuk membentuk fungsi keluarga yaitu :
a. Perbedaan Diri/Individu. Tingkat perbedaan diri mencakup perbedaan intelektual dan emosional anggota keluarga.
b. Triangulasi. Triangulasi atau melibatkan orang ketiga. Keterlibatan orang ketiga dapat berdampak positif dan negatif.
c. Sistem Emosional Keluarga Kecil. Setiap keluarga memiliki sistem emosional yang berbeda dan memiliki cara yang berbeda pula untuk mengurangi ketegangan emosi dan memelihara stabilitas emosi.
d. Proses Proyeksi Keluarga. Proses proyeksi keluarga adalah proses emosional yang dijalani secara turun temurun.
e. Pemutusan Emosional. Pemutusan emosi adalah pemisah antara emosi diri dan keluarga.
f. Proses Penularan Multigenerasi. Proses penularan multigenerasi adalah proses penularan emosi keluarga yang disalurkan dan dipelihara lebih dari tiga generasi.
g. Posisi Saudara Kandung. Bowen mengatakan bahwa ada hubungan antara urutan kelahiran dan kepribadian seseorang.
h. Regresi Masyarakat. Menurut Bowen, masyarakat terdiri dari kekuatan yang saling berlawanan. Jadi pendekatan sistem keluarga ini bekerja untuk memperbaiki sistem keluarga, tanpa menghiraukan jumlah anggota keluarga pada setiap sesi pertemuan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh konselor dalam melaksanakan pendekatan sistem keluarga yaitu :
1) Konselor harus tenang dan tidak larut dalam triangulasi serta tidak terlibat secara emosional dengan suami/istri yang bermasalah.
2) Tidak membiarkan terjadinya konflik terbuka.
3) Menggunakan posisi “AKU” ketika mengajarkan pasangan yang bermasalah untuk melakukan sesuatu.
4) Menghindari interpretasi-interpretasi.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pendekatan sistem keluarga ini adalah semakin memperluas perbedaan diri pada setiap anggota keluarga sehingga memisahkan individu dari pengaruh sistem keluarganya.
2. Pendekatan Model Komunikasi
Menurut Satir bahwa hanya dengan komunikasi yang jujur dan efektif antar-anggota keluarga yang akan menjadikan peraturan tidak tertulis menjadi lebih eksplisit. Ia mengatakan bahwa masalah yang terjadi dalam keluarga berhubungan dengan harga diri (self-esteem) dan komunikasi. Pendekatan yang digunakan untuk menyatukan keluarga diawali dengan mengklarifikasi adanya ketidaksesuaian dalam proses komunikasi antara anggota keluarga dengan menggunakan pendekatan humanistik dalam usaha membangun self-esreem dan self-worth. Konselor harus membantu individu untuk menggali potensi yang mereka miliki dan mengajarkan individu untuk menggunakan potensinya secara efektif.
3. Pendekatan Struktural
Konsep teori yang dituangkan Minuchin adalah bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial yang mengembangkan pola transaksi yang mengatur bagaimana, kapan dan kepada siapa anggota keluarga saling berhubungan. Artinya sistem keluarga dibentuk oleh pola transaksional. Minuchin menyarankan agar konselor memulai konselingnya dengan menggabungkan dirinya bersama anggota keluarga agar didapatkan pengalaman secara langsung mengenai tekanan dalam sistem keluarga tersebut.
D. TAHAPAN PELAKSANAAN KONSELING KELUARGA
Sebelum melakukan tahapan penanganan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh konselor, yaitu :
1. Mempersiapkan anggota keluarga,
2. Menciptakan sekutu,
3. Gunakan rasa takut/ancaman dengan tepat.
Tahapan konseling keluarga secara umum dijelaskan oleh Crane yang menggunakan pendekatan behavioristik. Tahapan konseling ini disusun untuk mengatasi perilaku oposisi pada anak. Untuk itu, ia mengungkapkan bahwa ada empat tahapan yang harus dilalui konselor, klien, dan anggota keluarga yaitu :
1. Mengombinasikan tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran pada orang tua.
2. Setelah tahap pembelajaran selesai, konselor dapat memberikan petunjuk cara mengimplementasikan ide-ide tersebut.
3. Kemudian orang tua diarahkan untuk mempraktikan idenya tersebut kepada anaknya dalam situasi sesi konseling.
4. Setelah praktik dalam sesi konseling, orang tua diarahkan oleh konselor untuk menerapkannya saat di rumah.
Selain tahapan yang telah dikemukakan oleh Crane tersebut, Collins menetapkan tujuh langkah-langkah dalam konseling keluarga, antara lain :
1. Menanggapi keadaan darurat
2. Memberikan fokus pada anggota keluarga
3. Menetapkan krisis
4. Menenangkan anggota keluarga
5. Menyarankan perubahan
6. Menghadapi sikap menolak perubahan
7. Menghentikan konseling
E. TUJUAN KONSELING KELUARGA
Tujuan umum konseling keluarga menurut Ehan adalah menciptakan keluarga sebagai satu kesatuan yang dapat berfungsi lebih baik, sehingga anggota keluarga dapat menjalankan perannya masing-masing serta saling mendukung dan saling mengisi satu sama lain. Tujuan umum konseling keluarga lainnya ialah menurut pendapat Glick dan Kessler yaitu :
1. Memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar-anggota keluarga.
2. Mengubah gangguan dan ketidakfleksibelan peran dan kondisi.
3. Memberikan pelayanan sebagai model dan pendidikan peran tertentu yang ditunjukkan kepada anggota keluarga.
Tujuan konseling keluarga secara khusus adalah seperti yang diungkapkan oleh Bowen yang menegaskan bahwa tujuan konseling keluarga adalah membantu klien (anggota keluarga) untuk mencapai individualitas sehingga dapat menjadi dirinya sendiri dan terpisah dari sistem keluarga.
F. PERAN KONSELOR
Menurut Satir mengatakan bahwa peran konselor antara lain :
a. Konselor berperan sebagai “facilitative a comfortable” sehingga dapat membuat klien melihat secara jelas dan objektif mengenai dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
b. Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi.
c. Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
d. Mengajarkan klien untuk berperilaku secara dewasa dan bertanggung jawab serta dapat melakukan self control.
e. Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan menginterpretasikan pesan-pesan yang disampaikan klien atau keluarga.
f. Konselor menolak membuat penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respons-respons anggota keluarga.
G. KESALAHAN YANG TERDAPAT DALAM KONSELING KELUARGA
Crane menguraikan beberapa kesalahan umum dalam proses konseling keluarga sebagai berikut :
1. Konselor tidak dapat melibatkan seluruh anggota keluarga (terutama orang tua) untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi klien.
2. Ketika orang tua dan anak bersama-sama memasuki ruangan konseling, konselor mengatakan bahwa anak tidak perlu terlibat dalam proses konseling sehingga membuat anak merasa tidak diperdulikan.
3. Konselor terlalu mendiskusikan masalah atau pandangannya kepada orang tua dan bukan menunjukkan cara penanganan masalah yang tepat dalam kehidupan nyata.
4. Mendiagnosis dan menjelaskan perilaku anak tetapi tidak mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah yang terjadi.
5. Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu membiarkan keluarga larut dalam interaksi mereka yang salah.
Selain kesalahan-kesalahan tersebut, konseling keluarga juga memiliki keterbatasan yang meliputi :
1. Konseling keluarga tidak selalu bermanfaat pada semua gangguan keluarga.
2. Tidak dapat digunakan oleh semua konselor, khususnya konselor yang tidak mampu bekerja dengan seluruh keluarga.
3. Keengganan sistem keluarga untuk menyelesaikan masalah dengan melakukan perubahan.
4. Konseling keluarga tidak dapat bekerja apabila satu atau lebih anggota keluarga lebih dominan dengan tingkah laku yang membahayakan dan destruktif ataupun rapuh secara psikologis.
BAB 12
MASALAH ETIS DALAM KONSELING
Redilick dan Pope mengungkapkan tujuh pokok uraian yang harus terdapat dalam kode etik yaitu :
1. Pekerjaan itu diatas segalanya dan tidak merugikan orang lain.
2. Praktik profesi iru hanya dilakukan atas dasar kompetensi.
3. Tidak melakukan eksploitasi.
4. Memperlakukan seseorang dengan respek untuk martabatnya sebagai manusia.
5. Melindungi hal konfidensial.
6. Tindakan, kecuali dalam keadaan yang sangat ekstrem, dilakukan hanya setelah mendapat izin .
7. Praktik profesi merupakan kerangka pekerjaan sosial dan keadilan.
Permasalahan etis juga menyangkut tentang tenggung jawab. Dalam hal ini, para konselor bertanggung jawab mengemban kode etiknya.
A. TANGGUNG JAWAB KONSELOR
Tanggung jawab utama konselor terbagi atas dua bagian, yaitu dalam konteks bantuan serta tanggung jawab moralnya dalam pelaksanaan kode etik. Menurut Ivey, dkk. Tanggung jawab etis seorang konselor adalah berbuat tanpa merugikan klien atau masyarakat. Adapun tanggung jawab konselor antara lain :
1. Menjaga Kerahasiaan (Konfidensialitas)
Menurut Caroll kerahasiaan (konfidensialitas) berhubungan dengan pengendalian informasi yang diterima dari seseorang. Konselor bertanggung jawab menjaga kerahasiaan ini untuk menjaga kepercayaan klien terhadapnya serta menjamin perlindungan rasa aman klien. Konselor bertanggung jawab adalah menentukan batas-batas kerahasiaan yang mencakup tingkat kerahasiaan yang dapat dijanjikan. Monro menegaskan bahwa dalam menjaga kerahasiaan klien, seorang konselor harus memerhatikan hal-hal berikut :
a. Konselor perlu menyampaikan kedudukan klien dalam hubungannya dengan kerahasiaan.
b. Meminta izin klien ketika konselor memerlukan keterangan dari pihak keluarganya atau pihak yang lain.
c. Apabila klien meminta agar informasdirahasiakan, maka konselor harus menghargai permintaan tersebut.
d. Apabila kerahasiaan tidak dapat dijamin karena adanya tuntutan hukum atau pertimbangan lain, maka konselor harus memberitahukannya kepada klien.
e. Catatan hasil wawancara diusahakan sedikit mungkin. Dan setelah tidak diperlukan hendaklah konselor memusnahkannya.
f. Menciptakan suasana yang menjamin kerahasiaan informasi klien.
g. Kerahasiaan harus dihargai karena merupakan bagian dari kode etik profesional.
Latipun mengungkapkan bahwa informasi klien hanya dapat diberikan kepada :
a. Pihak yang berwenang yaitu berhubungan langsung dengan tujuan pemberian jasa psikologis.
b. Berwenang secara langsung terhadap diri klien.
c. Pihak ketiga apabila informasi klien diperlukan untuk kepentingan umum.
2. Memiliki Kompetensi
Latipun mengatakan bahwa kompetensi mengacu pada batas-batas kewenangan dalam menjalankan tugas-tugas profesional. Artinya adalah konselor yang efektif tidak akan menggunakan tretment yang berada di luar lingkup kewenangan dan kemampuan yang dimilikinya. Kewenangan ini telah diatur dalam kode etik dan menjadi kewajiban bagi konselor untuk mentaatinya. Corey mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada standar yang jelas dan menegaskan bagaimana seorang konselor dinyatakan kompeten terhadap profesinya.
Kompetensi profesional disesuaikan dengan bidang-bidang yang dipelajari oleh konselor secara formal. Jadi apabila konselor menghadapi klien di luar bidang yang dipelajarinya, konselor harus merujuknya, kepada konselor atau pihak lain yang dipandang lebih berkompeten dan mengetahui permasalahan klien secara jelas dan mengerti bagaimana mengatasinya. Konselor sebaiknya juga melakukan konsultasi atau berbagi (sharing) dengan rekan seprofesi yang berpengalaman.
3. Nilai Hidup Konselor
Nilai-nilai hidup adalah permasalahan etis yang kerap muncul dalam konseling apabila konselor tidak bijaksana dan bersikap kaku memegang nilai hidupnya, maka ia akan tampil sebagai konselor yang selalu menyalahkan nilai hidup klien. Monro, dkk. Mengemukakan beberapa pedoman umum yang dapat membantu konselor mengatasi masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai hidup, antara lain :
a. Setiap individu berhak menentukan arah hidupnya.
b. Konselor harus jujur pada dirinya sendiri dengan tidak menanggalkan nilai sosial, moral dan agama yang dianutnya. Konselor harus mengenal dirinya sendiri dan mengikuti nilai tersebut secara jujur.
c. Tugas konselor adalah membantu klien mengenal nilai hidupnya serta mengambil keputusan dan menetapkan identitas dirinya.
d. Konselor hendaknya membantu klien agar dapat menyalurkan pendapat atau sikap mereka melalui cara yang baik. Setelah itu konselor menanggapi secara jujur apakah pendapat dan sikap mereka tepat atau tidak.
e. Konselor tidak boleh memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada klien.
f. Konselor tidak menentukan sesuatu itu benar atau salah akan tetapi memberikan dorongan agar klien dapat menilai sendiri sikap, norma dan tindakannya secara objektif.
g. Konselor jangan mencoba untuk menghapus kenyataan yang dirasakan klien dengan menyarankannya tidak memandang tingkah lakunya sebagai penyimpangan.
h. Konselor tidak melakukan konseling dalam persaingan.
i. Apanila diperkenankan memberi penilaian, maka penilaian konselor harus mengarah pada tindakan dan bukan pada klien.
4. Mengutamakan Kebutuhan Klien
Sama halnya dengan nilai hidup, konselor juga tidak dapat melepaskan kebutuhan pribadinya saat menangani klien. Pada dasarnya diperlukan kesadaran yang matang pada diri seorang konselor untuk melihat dan mengenal dirinya lebih dalam. Dalam hal ini APA (American Psychological Association) menegaskan bahwa dalam hubungan konseling, tidak dibenarkan masalah pribadi mengakibatkan pelayanan profesional yang buruk dan merugikan klien, atau apabila konselor sadar atas masalah pribadinya, maka ia harus mencari bantuan profesional yang kompeten guna menentukan apakah ia dapat melanjutkan atau harus mengakhiri pelayanan terhadap kliennya.
Corey menyebutkan aspek-aspek tersebut antara lain :
a. Kebutuhan akan kendali dan kekuasaan.
b. Kebutuhan untuk membantu dan memelihara.
c. Kebutuhan untuk mengubah orang lain.
d. Kebutuhan untuk mengajari/berkhotbah.
e. Kebutuhan untuk membujuk dan menasehati.
f. Kebutuhan untuk merasa mampu dan berguna.
g. Kebutuhan untuk dihormati dan dihargai.
Apabila hal ini dilakukan, maka munculnya masalah etis dalam konseling akan dapat dicegah sehingga konselor fokus terhadap kebutuhan klien.
B. LANGKAH-LANGKAH MEMBUAT KEPUTUSAN ETIS
Corey dkk. Mengidentifikasikan langkah-langkah yang dapat muncul dalam proses konseling, yaitu :
1. Lakukan identifikasi masalah melalui pengumpulan informasi yang dapat memberi penjelasan tentang masalah secara keseluruhan.
2. Lakukan identifikasi terhadap isu-isu potensial.
3. Lihatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan klien.
4. Pahami hukum dan aturan yang berlaku apalagi yang berkaitan dengan dilema etis.
5. Carilah referensi lebih dari satu sumber untuk mendapatkan gambaran perspektif mengenai dilema tersebut.
6. Lakukan brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat dijalankan.
7. Jelaskan pada klien tentang konsekuensi dari berbagai macam tindakan yang akan diambil.
8. Tentukan langkah yang kemungkinannya paling baik dan bisa dilakukan oleh klien.
Penyusunan langkah etis memerlukan pemikiran yang matang. Oleh karena itu, konselor jangan terburu-buru mengambil keputusan dan hanya bersandarkan pada penalaran pribadi semata.
C. KODE ETIK PROFESI DI INDONESIA
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa konseling sebagai wadah bantuan profesional memiliki kode etik yang wajib dipatuhi oleh para konselor. Saat ini, di Indonesia para konselor mengacu pada kode etik yang dibuat oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Ada saksi yang telah ditetapkan oleh HIMPSI bagi pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kode etik ini. Akan tetapi, sampai saat ini sanksi tersebut belum ditegakkan dengan tegas. Hal ini perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, karena akan mengancam kesejahteraan klien dan melemahkan kualitas konseling sebagai media pemecahan masalah masyarakat.
BAB 13
ILUSTRASI KASUS DALAM KONSELING
A. PERKELAHIAN GENG NERO DALAM PERSPEKTIF PSIKOANALISIS
Dalam pandagan psikoanalisis, para remaja putri yang bergabung dalam geng neri dan melakukan perkelahian itu disebabkan oleh adanya dominasi energi id (nafsu, libido seksual) pada diri individu-individu tersebut. Dominasi energi id yang terjadi dalam diri individu disebabkan oleh lemahnya energi ego dan superego, karena pada dasarnya kemunculan perilaku Freud selalu dilatarbelakangi oleh dialog antara id, ego, dan superego.
Dalam kasus perkelahian ini, tidak serta merta remaja yang harus disalahkan, karena masa remaja adalah masa penuh goncangan, masa pencarian identitas, dimana jika tidak didampingi oleh para pendidik dan orang tua remaja akan mudah terjerumus pada perilaku-perilaku negatif. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa nilai-nilai yang ada pada diri individu adalah merupakan introjeksi dari nilai-nilai sosial, masyarakat, dan agama yang diperoleh melalui pendidikan orang tua.
B. TEMPER TANTRUM DALAM PERSPEKTIF CLIENT-CENTERED
Temper tentrum sering terjadi dalam empat tahun pertama usia anak. Temper tantrum terbentuk secara bertahap dan akhirnya menjadi kebiasaan ketika anak menyadari bahwa dengan cara seperti itulah keinginannya tercapai. Pandangan client-centered lebih menekankan aspek sikap daripada teknik konseling itu sendiri. Konselor dapat menyarankan orang tua untuk melakukan hal-hal berikut ini pada anak yaitu :
1. Hindari pemberian tugas di luar kemampuan anak.
2. Hindari pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan anak.
3. Hindari tuntutan yang berlebihan.
4. Tidak bersikap sewenang-wenang.
5. Tidak terlalu memegang teguh sikap-sikap keras dan kaku dalam mengasuh dan mendidik anak.
6. Bersikap konsisten atau ajek, namun tetap penuh kasih sayang; keajekan memungkinkan anak belajar dari pengalaman-pengalamannya. Namun ini tidak berarti segala sesuatu harus berlangsung rutin tanpa pengecualian.
C. KASUS KEBENCIAN PADA WANITA DALAM PERSPEKTIF GESTALT
Ilustrasi kasus ini, Andi adalah seorang mahasiswa yang mengalami masalah terhadap perempuan. Ia menganggap semua perempuan itu tidak baik. Hal ini membuatnya cenderung menjauhi perempuan. Setelah dilakukan sesi konseling, maka diketahui bahwa sikap Andi dipengaruhi oleh perlakuan yang buruk dari ibunya sewaktu berusia sekolah dasar. Karena mengalami hal menyakitkan semasa kecilnya, Andi menyimpan perasaan dendam kepada ibunya yang akhirnya membuatnya tidak mau menjalin keakraban dengan perempuan.
Melalui terapi Gestalt dapatlah kita ketahui bahwa Andi memiliki urusan yang tidak selesai di masa lalu atau disebut juga Unfinished Bussiness yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan, amukan (rage), kebencian, rasa sakit (pain), cemas (anxiety), duka cita (grief), rasa bersalah (guild), dan perilaku menunda (abandonment). Konselor Gestalt akan berusaha untuk membantunya merasakan apa yang terjadi saat ini. Konselor akan menfasilitasi Andi untuk menunjukkan situasi yang terjadi saat ini. Ia dibantu untuk menyadari bahwa perilakunya tidak produktif dan kemudian mencari perilaku-perilaku yang lebih produktif. Dengan demikian, melalui terapi Gestalt kesadaran adalah menjadi kunci utama untuk memikul tanggung jawab pribadi atas kehidupannya sendiri tanpa dipengaruhi atau dikendalikan oleh orang-orang yang berkuasa dalam kehidupannya.
D. KENAKALAN REMAJA DALAM PERSPEKTIF BEHAVIORISTIK
Ilustrasi kasus ini, kenakalan remaja sudah menjadi bagian dari masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Setidaknya kita mengenal ada dua upaya, yaitu upaya yang bersifat preventif atau pencegahan serta upaya bersifat kuratif atau upaya untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Perspektif behavioristik dapat pula digunakan, yaitu melalui teknik penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons atau memperkuat terjadinya perubahan tingkah laku sebagai akibat pemberian stimulus oleh guru. Penguatan dapat berupa penguatan positif (positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative reinforcement).
Dikatakan bersifat preventif apabila berbentuk penguatan positif berupa hadiah atau ganjaran (reward) bagi peserta didik yang melakukan tindakan-tindakan positif. Tidakan yang kedua adalah tindakan kuratif untuk menghentikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang tidak dihendaki. Punishment atau hukuman merupakan tindakan yang menjadi pilihan dalam upaya ini. Reward dan punishment merupakan salah satu asas yang digunakan oleh pandangan behavioristik dalam dunia pendidikan. Pandangan behavioristik ini sangat menekankan pada hasil belajar. Sementara proses belajar bukan menjadi masalah yang penting menurut pandangan ini.
E. MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL-EMOTIF
Lia (samaran) siswa kelas I SMU favorit Salatiga yang berusaha untuk naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pendalaman kurang lebih 17 km di luar kota Salatiga. Lia anak yang cerdas dan melanjutkan sekolah ke SMU favorit berkat bujukan wali kelasnya. Ketika memasuki masa SMU, bertemu dengan teman-teman kaya dengan pola pergaulan yang berbeda dari latar belakang Lia. Makin lama ia merasa minder dan malu terhadap dirinya sendiri.
Menurut pandangan RET (Rasional-emotif Terapi), manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional. Manusia sering kali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional. Konseling kognitif: untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasionalnya tentang konsep harga diri yang slaah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar: memberikan nasihat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasional, sugesti, asertif training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri.
Konseling emotif-evolatif: untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban. Konseling behavior digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan mengubah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tidak logis melalui kontrak, reinforcement, sosial modeling, dan relaksasi/meditasi.
F. KASUS PERILAKU MEMBOLOS DALAM PERSPEKTIF REALITAS
Kasus membolos pada pelajar SMP. Pendekatan realitas digunakan untuk membahas kasus ini. Konsep dasarnya adalah kenyataan yang sebenarnya yang akan dihadapi tanpa memandang jauh ke masa lalu karena pendekatan ini lebih menekankan pada masa kini. Pendekatan ini lebih bersifat humanis. Adapun teknik-teknik yang digunakan adalah :
1. Menggunakan role playing dengan klien.
2. Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dengan rileks.
3. Tidak menjanjikan kepada klien maaf apa pun, karena telah terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan tingkah laku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
4. Menolong klien untuk merumuskan tingkah laku apa yang akan diperbuatnya.
5. Membuat modal-modal peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
6. Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapisnya.
7. Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak pantas.
8. Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.
Melalui terapi realitas ini diharapkan dapat mencapai tujuan konseling yaitu :
1. Membantu Karjono agar mampu mengurus diri sendiri dengan kata lain ia dapat membuat keputusan yang tepat dari tingkah laku yang dibuatnya untuk mencapai masa depan yang lebih baik (memandirikan klien).
2. Mendorong Karjono untuk bertanggung jawab serta bersedia memikul segala resiko. Tanggung jawab yang diberikan pada klien harus sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dalam mencapai tujuan.
4. Tingkah laku yang sukses yang dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam makalah “Memahami Dasar-dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik” dapat kita pahami konseling adalah salah satu cara yang efektif untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan. Karena kemajuan ilmu dan teknologi pada era globalisasi sekarang ini, menuntut setiap profesi untuk meningkatkan dan memperkukuh konsep dasar keilmuan yang menjadi pijakan praktis profesionalnya.
Konsep keilmuan ini penting bagi seorang konselor, karena konselor membutuhkan banyak konsep keilmuan yang dapat dijadikan landasan berpijak dalam melaksanakan proses bimbingan dan konseling di masyarakat, khususnya dunia pendidikan. Dalam arti sederhana konseling “hubungan membantu”, maka sepanjang ada interaksi sosial antar-individu di segala aspek kehidupan, konseling itu akan memainkan perannya.