PERAN GENDER DAN PERKEMBANGAN IDENTITAS
DI MASA REMAJA TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU
DI SUSUN OLEH:
SAYIDAH SYUFIYAH(14520047)
DOSEN PEMIMBING : MIRNA ARI MULYANI
JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gender adalah salah satu permasalahan yang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian Tuhan, apakah laki-laki atau perempuan. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, yang mengacu pada ciri biologis. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis kelamin perempuan dan laki-laki selamanya. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni sifat-sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Salah satu yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur yang lain. Peran itu juga sangat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Sebaliknya, melalui dialetika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusionar dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh terhadap perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya.
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian gender?
b. Bagaimana peran gender dalam perkembangan remaja?
c. Bagaimana Perkembangan Identitas Di Masa Remaja Terhadap Sikap Dan Perilaku?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa pengertian gender
b. Untuk mengetahui bagaimana peran gender dalam perkembangan remaja
c. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan di masa remaja terhadap sikap dan perilaku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender
Gender atau sering juga disalahejakan jender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dalam suatu masyarakat. Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. [1]
Definisi menurut para ahli:
1. Sigmund Freud (1856-1939) yang menyatakan bahwa ada atau tidak adanya penislah yang menentukan perkembangan jiwa seseorang menjadi kelaki-lakian atau wanita.[2]
2. Sandra Bem dalam teorinya yang baru menganggap kelaki-lakian dan kewanitaan sebagai dua sifat yang berbeda, terlepas satu dari yang lainnya dan tidak selalu terkait dengan jenis kelamin seseorang. Bem mencoba mengukur sifat kelaki-lakian (ambisius, aktif, kompetitif, objektif, mandiri, agresif, pendiam, dan seterusnya) dan sifat kewanitaan (pasif, lemah lembut, subjektif, dependen, emosional, dan sebagainya) dari beberapa orang menggunakan sebuah skala khusus yang dinamakan BSRI (Bem Sex-Role Inventory). Dari hasil percobaannya tersebut ternyata ada empat macam ciri sifat manusia yang ditinjau dari peran seksualnya, yaitu:
· Tipe maskulin, yaitu manusia yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata.
· Tipe feminin, yaitu manusia yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata.
· Tipe androgin, yaitu manusia yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaannya di atas rata-rata.
· Tipe tidak tergolongkan (undiferentiated), yaitu manusia yang sifat kelaki-lakiaannya maupun kewanitaannya di bawah rata-rata.[3]
B. Peran Gender
Peran gender menurut para ahli antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Bem (1981), gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminim, androgini dan tak terbedakan. Konsep Gender dan peran gender merupakan dua konsep yang berbeda, gender merupakan istilah biologis, orang-orang dilihat sebagain pria atau wanita tergantung dari organ-organ dan gen-gen jenis kelamin mereka.[4]
2. Menurut Basow (1992), peran gender merupakan istilah psikologis dan kultural, diartikan sebagai perasaan subjektif seseorang mengenai ke-pria-an (maleness) atau kewanitaan (femaleness).[5]
3. Brigham (1986) lebih menekankan terhadap konsep stereotipe di dalam membahas mengenai peran gender, dan menyebutkan bahwa peran gender merupakan karakterisitik status, yang dapat digunakan untuk mendukung diskriminasi sama seperti yang digunakan untuk mendukung diskriminasi sama seperti ras, kepercayaan, dan usia.[6]
4. Menurut Myers (1995), peran gender merupakan suatu set tingkah laku yang diharapkan (berupa norma) untuk pria dan wanita, dikaitkan dengan ciri-ciri feminim dan maskulin sesuai dengan yang diharapkan dalam masyarakat.[7]
C. Perkembangan Identitas Di Masa Remaja Terhadap Sikap Dan Perilaku
Menurut Erickson, masa remaja ditandai dengan berbeda ‘krisis’, mereka menghadapi beberapa titik penting dalam mengembangkan ‘identitas’. Mereka menjawab atau setidaknya menghadapi pertanyaan identitas tentang pandangan dunia, arah karir, kepentingan, orientasi jenis kelamin, nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspirasi untuk masa depan. Seperti remaja ‘menjadi orang’ mereka menghabiskan berjam-jam di ruang kelas dan sekolah dalam interaksi konstan dengan guru, teman sebaya, ide dan kegiatan.[8]
ü Empat status identitas yang dikemukakan oleh James Marcia
1. Identity diffusion, adalah istilah yang digunakan Marcia untuk merujuk pada kondisi remaja yang belum pernah mengalami krisis (belum pernah mengeksplorasi berbagai alternatif yang bermakna) ataupun membuat komitmen apa pun. Mereka tidak hanya tidak[sic] membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu.[9]
2. Identity foreclosure adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk merujuk pada kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis identitas. Status ini sering kali terjadi jika orang tua meneruskan komitmen pada remaja, biasanya secara otoriter. Dengan demikian, remaja dengan status ini belum ini memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis, dan pekerjaannya sendiri.[10]
3. Identity moratorium, adalah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk merujuk pada kondisi remaja yang berada di pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu.[11]
4. Identity achievement adalah istilah yang oleh Marcia untuk merujuk pada kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas dan membuat komitmen.[12]
ü Perubahan perkembangan dalam identitas
Di masa remaja awal, sebagian besar anak muda terutama memiliki status identitas diffusion, foreclosure, atau moratorium. Menurut Marcia (1987, 1996), terdapat minimal tiga aspek dari perkembangan remaja muda yang penting untuk mengidentifikasi pembentukan identitas. Remaja muda tersebut harus yakin bahwa mereka memperoleh dukungan orang tua, harus mencapai prakarsa (sense of industry), dan harus mampu melakukan refleksi diri yang menyangkut masa depannya.[13]
Beberapa peneliti berpendapat bahwa perubahan identitas yang penting terjadi ketika seseorang beranjak dewasa dan bukan di masa remaja. Sebagai contoh, Alan Waterman (1985, 1989, 1999) menentukan bahwa antara masa sekolah menengah atas hingga beberapa tahun terakhir masa kuliah di kampus, jumlah individu yang digolongkan identity achievement meningkat, sementara jumlah individu yang digolongkan identity diffused menurun. [14]
Beberapa peneliti berpendapat bahwa terdapat suatu pola dari individu-individu yang mengembangkan identitas positif yang disebut dengan siklus “MAMA”: moratorium-achievement-moratorium-achievement (Archer, 1989).
a. Identitas dan konteks sosial
1. Pengaruh keluarga terhadap identitas : orang tua adalah tokoh yang berpengaruh dalam proses pencarian identitas pada remaja. Dalam studi-studi yang mengaitkan perkembangan identitas dengan gaya pengasuhan, ditemukan bahwa orang tua demokrasi yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan akan mengembangkan identity achievement. Sebaliknya, orang tua otokratis, yamg mengontrol perilaku remaja dan tidak memberikan peluang kepada mereka untuk mengekspresikan pendapat, akan mengembangkan identity foreclosure. Orang tua permisif yang kurang memberikan bimbingan dan membiarkan remaja untuk membuat keputusan sendiri, akan mengembangkan identity diffusion (enright dkk, 1980).[15]
2. Identitas budaya dan etnis : para peneliti telah menemukan bahwa identitas etnis cenderung meningkat seiring dengan usia, dan tingkat identitas etnis yang lebih tinggi berkaitan dengan sikap-sikap yang lebih positif, tidak hanya terhadap kelompok etnisnya sendiri namun juga terhadap anggota-anggota dari kelompok etnis lain (phinney, ferguson, & tate, 1997).[16]
3. Gender dan identitas : menurut erikson (1968) mengenai perkembangan identitas mencerminkan bahwa pembagian angkatan kerja berdasarkan jenis kelamin merupakan hal yang banyak di jumpai di masa itu. Menurut erikson, laki-laki terutama berorientasi pada karier dan komitmen ideologi, sementara perempuan terutama berorientasi pada perkawinan dan pengasuhan anak. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, para peneliti menemukan bukti-bukti yang mendukung pendapatnya mengenai perbedaan gender dalam identitas.[17]
4. Identitas dan imitasi : erikson (1968) berpendapat bahwa imitasi seharusnya berkembang setelah individu mulai mampu mengembangkan sebuah identitas yang stabil dan berhasil. Imitasi versus isolasi (intimacy versus isolation) adalah tahap perkembangan ke enam menurut erikson, yang dialami oleh individu di masa dewasa awal. Di masa ini, individu berhadapan dengan tugas untuk membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menyatakan intimasi sebagai menemukan diri sendiri, sekaligus kehilangan diri sendiri. Apabila seseorang dewasa muda dapat membentuk persahabatan yang sehat dan relasi yang intim dengan individu lain, maka ia akan mencapai intimasi, apabila tidak, ia akan mengalami isolasi.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan dari penjelasan diatas yaitu meliputi :
a. Pengertian gender menurut para ahli diantaranya adalah Sigmund Freud (1856-1939) yang menyatakan bahwa ada atau tidak adanya penislah yang menentukan perkembangan jiwa seseorang menjadi kelaki-lakian atau wanita.
b. Peran gender diantranya yatiu Menurut Myers (1995), peran gender merupakan suatu set tingkah laku yang diharapkan (berupa norma) untuk pria dan wanita, dikaitkan dengan ciri-ciri feminim dan maskulin sesuai dengan yang diharapkan dalam masyarakat.
c. Perkembangan identitas di masa remaja terhadap sikap dan perilaku yaitu menurut Menurut Erickson, masa remaja ditandai dengan berbeda ‘krisis’, mereka menghadapi beberapa titik penting dalam mengembangkan ‘identitas’. Mereka menjawab atau setidaknya menghadapi pertanyaan identitas tentang pandangan dunia, arah karir, kepentingan, orientasi jenis kelamin, nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspirasi untuk masa depan. Seperti remaja ‘menjadi orang’ mereka menghabiskan berjam-jam di ruang kelas dan sekolah dalam interaksi konstan dengan guru, teman sebaya, ide dan kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Santrock. 2007. Remaja. Jakarta : Erlangga.
Sarwono, Sarlito W. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http://www.kainsutera.com/info-remaja/perkembangan-identitas-pada-remaja.html
http://www.Gender (sosial) –Wikipedia-bahasa-Indonesia,-ensiklopedia-bebas.htm
[1]Sarlito W. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989, hlm. 54.
[2]Ibid
[3]http://www.Gender (sosial) - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
[4] Ibid
[5] Sarlito w. Op; Cit, hlm. 57.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] John W Santrock. Remaja. Jakarta : Erlangga, 2007, hlm 192.
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] http://www.kainsutera.com/info-remaja/perkembangan-identitas-pada-remaja.html
[14] Sarlito w. Op; Cit, hlm. 60.
[15] Ibid
[16] John W Santrock. Op; Cit, hlm. 196-197.
[17] Ibid
[18] Ibid